Thursday, July 28, 2005

Perang Salib dan Kebangkitan Islam

Kuala Lumpur, 7 Februari 2004
Oleh Adian Husaini


Saat Presiden George W. Bush menggelorakan Perang Salib (Crusade) melawan
teroris, pasca Tragedi 11 September 2001, sejatinya Bush tidak sedang
terpeleset lidah. Bush sedang mengungkap alam sadarnya, bahwa semangat
Crusade kini diperlukan menggalang kekuatan Barat. Berakhirnya Perang
Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, telah mengubah peta
dunia. Barat, dengan serangkaian ideologinya, tidak lagi legitimate untuk
eksis. Padahal, menurut penasihat kawakan politik luar negeri AS, Samuel
P. Huntington (1996), untuk self-definition dan membangun motivasi,
manusia perlu rival dan musuh. Maka, konsekuensinya, Barat perlu musuh dan
semangat baru, selepas komunisme. Semangat Crusade itulah yang ingin
digelorakan oleh Bush.
Namun, tidak terlalu sukses. Citra AS di Eropa justru jeblok. Dalam jajak
pendapat di Eropa, awal November 2003, AS menduduki posisi keenam sebagai
negara yang mengancam perdamaian dunia, setelah sekutu utamanya, Israel.

Eksistensi Barat memang sedang banyak dipertanyakan, apalagi selepas
serangan AS ke Irak. Apakah Barat telah berakhir? Thomas L. Friedman, menulis satu kolom di International Herald Tribune (3 November 2003),
berjudul "Is this the end of the West?" Barat memang telah pecah. AS dan
Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, telah berbeda dalam banyak hal
prinsip. Carld Bildt, mantan PM Swedia, menyatakan, bahwa selama satu
generasi, Amerika dan Eropa bersepakat dalam hal (tahun 1945): Aliansi
Atlantik Utara membangun komitmen bersama untuk menciptakan pemerintahan
demokratis, pasar bebas, dan menangkal pengaruh komunisme Uni Soviet. Kesepakatan ini berjalan hingga 10 tahun.

Namun kini, semua itu sudah berubah. Bagi Eropa, tahun penting adalah 1989
(keruntuhan Soviet), sedang bagi AS adalah 2001 (Tragedi WTC). Eropa dan
AS juga gagal untuk membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu
global. "We have also failed to develop a common vision for where we want
to go on global issues confronting us," kata Bildt.

Maka, dalam situasi seperti itu, Barat membutuhkan 'faktor pemersatu' (uniting factor). Dan orang seperti Bush berpikir, Crusade adalah
jawabannya. Bush berpikir logis, dan tidak kalap. Perang Salib telah menorehkan bekas yang sangat mendalam pada Barat dan Islam, hingga kini.
Buku Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's
World,(1991), memberikan gambaran jelas, bagaimana pengaruh Perang Salib terhadap dunia, kini.
Di tengah merosotnya pengaruh Gereja dan konflik antar kekuatan Kristen,
pada 25 November 1095, Paus Urbanus II, menyerukan Perang Salib. Para
ksatria Kristen diminta menghentikan konflik antar mereka dan bersatu padu
menghadapi musuh Tuhan, yang mereka sebut "Turks". "The Turks adalah
bangsa terkutuk, dan membunuh monster seperti mereka adalah suci. Maka,
wajib bagi kaum Kristen memusnahkan mereka," kata Paus

Seruan Paus Urbanus mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan
Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku
klasiknya, Islam and the West (terbit pertama tahun 1960), Norman Daniel
menyebut 'semangat Crusade adalah melakukan pembantaian demi Kasih Tuhan'.
Maka, tidak heran, jika tentara Salib kemudian melakukan pembantaian yang
luar biasa sadisnya terhadap Muslim, Yahudi, dan berbagai kelompok
masyarakat lain.

Tahun 1099, saat menaklukkan Jerusalem, mereka membantai sekitar 30.000
warganya. Puluhan ribu kaum Muslim yang mengungsi di atap al-Aqsa dibantai
dengan sadis, tanpa pandang bulu, wanita, anak-anak, atau orang tua.
Setahun sebelumnya, 1098, pasukan Salib (Franks/Crusaders) membantai
ratusan ribu kaum Muslim di Marra't un-Noman, Syria. Paus menjanjikan
pengampunan dosa bagi siapa pun yang bergabung dalam pasukan Salib dan
jaminan surga bagi yang mati dalam perang suci itu.

Karena itu, menurut Armstrong, Crusade adalah proyek kerjasama
besar-besaran Eropa di masa kegelapan mereka. Mereka dicengkeram dengan
semangat Kristen yang tinggi. Jelas, Crusade merupakan jawaban terhadap
kebutuhan Kristen Eropa ketika itu.

Dunia Islam ketika itu 'superior' dalam peradaban dibanding semua
peradaban yang ada. Islam sedang di puncak keemasan. Sementara Eropa
berada dalam kegelapan. Islam, sebagai entitas politik, masih eksis.
Khilafah masih tegak, meskipun terbagi menjadi tiga kekuatan besar (Mesir,
Andalusia, dan Baghdad). Fragmentasi politik cukup parah. Pada medio abad
11 M, Syria dan Palestina menjadi ajang rebutan antara Fathimiyah dan
Abbasiyah. Fathimi mendominasi Jerusalem antara 869-1073. Sedangkan
Abbasiyah menguasai Jerusalem antara 1073-1098.

Di tengah kehebatan peradaban Islam dan eksistensi entitas politik Islam itulah, justru pasukan Salib berhasil merebut Jerusalem. Upaya penguasa
Fathimiyah, Afdal bin Badr al-Jamali, untuk negosiasi dan berdamai dengan
Salib ditolak. Semangat pasukan Salib sedang begitu tinggi untuk merebut
Jerusalem. Mereka sangat percaya diri, meskipun lebih rendah tingkat
peradabannya (hal yang sama terjadi saat Baghdad diduduki pasukan Mongol).


Friksi politik di kalangan Muslim menjadi salah satu faktor utama
kekalahan Islam pada tahap awal Perang Salib. Respons Muslim sangat tidak
memadai. Dalam buku The Crusades: Islamic Perspective (1999), Carole
Hillenbrand, menggambarkan repons kaum Muslim yang didominasi sikap apatis, terbelit problem internal, dan kompromistis.

Penguasa Muslim di Syria, bukannya melakukan perlawanan terhadap pasukan
Salib, tetapi malah berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, The Franks
justru menunjukkan semangat tinggi, fanatik, dan memiliki motivasi tinggi
untuk mencapai tujuannya. Pada situasi seperti itulah, tampil Syekh Ali
al-Sulami (1039-1106), seorang ulama bermazhab Syafii. Ia menulis kitab berjudul Kitab al-Jihad. Tampaknya, banyak ulama dan cendekiawan Muslim
belum mengkaji Kitab ini. Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya, Al-Imam
al-Ghazali Bayna Madihihi wa Naqidihi, sama sekali tidak merujuk karya
al-Sulami, saat membahas posisi al-Ghazali dalam Perang Salib. Padahal,
kitab ini sangat penting untuk memahami kisah sukses kaum Muslim dalam
merebut kembali Jerusalem dari tangan Pasukan Salib- termasuk peran
al-Ghazali di dalamnya.

Ali al-Sulami melihat, kelemahan Muslim bukan hanya di bidang politik,
tetapi menyangkut soal sikap keagamaan. Melihat kondisi Muslim yang parah,
al-Sulami merumuskan strategi jihad dalam dua tahap: (1) Melakukan
perbaikan moral untuk mengakhiri kemunduran spiritual kaum Muslim. Ia
melihat, kekalahan Muslim adalah pelajaran dan hukuman dari Allah, sebab
mereka meninggalkan kewajiban kepada Allah dan mengabaikan kewajiban
jihad. (2) Melakukan penggalangan potensi kekuatan umat melawan Crusaders.


Dalam tahap perbaikan moral itulah, al-Sulami banyak mengutip pendapat
al-Ghazali, termasuk dalam soal jihad. Tampaknya, al-Sulami bertemu
al-Ghazali di Masjid Ummayah Damascus, saat al-Ghazali melakukan
perenungan di Masjid ini pada periode awal Perang Salib. Saat-saat itulah
al-Ghazali menulis karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin. Dalam kitabnya,
al-Sulami mendeskripsikan secara jelas kondisi, situasi dan strategi
mengalahkan pasukan Salib. Jihad ke dalam, memerangi hawa nafsu, dan jihad
ke luar memerangi musuh, dipadukan menjadi satu kekuatan yang dahsyat.

Selama puluhan tahun, dakwah al-Sulami tidak mendapat sambutan berarti.
Titik terang mulai muncul saat pasukan Muslim di bawah pimpinan Imamuddin
Zengi, merebut Edessa pada 1144. Sukses Imamuddin dilanjutkan putranya,
Nuruddin Zengi, yang mengalahkan pasukan Salib pada 1149. Para penulis
menggambarkan Nuruddin merupakan sosok religius dan pahlawan jihad.

Sepeninggal Nuruddin (1174), tampil keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi
sebagai komandan pasukan Muslim. Tokoh inilah yang berhasil membebaskan
Jerusalem dari pasukan Salib pada 1187.

Refleksi dalam berbagai hal, kondisi kaum Muslim kini, serupa dengan
kondisi saat Perang Salib berlangsung. Perang ini sendiri memakan waktu
yang panjang (1096-1204). Pasukan Salib hanya berhasil menduduki Jerusalem
sekitar 87 tahun (1099-1187). Kelemahan akidah, moral, dan politik umat
Islam dipandang sebagai satu problem. Solusi al-Sulami yang melihat
problem umat secara komprehensif dan mengajukan solusi secara integral,
perlu dipelajari. Problem politik, ekonomi, dan militer umat, tidak
dipisahkan dari problem pendidikan dan dakwah. Bahkan, ia menempatkan
aspek ini pada tahap awal, sebelum menyelesaikan problem politik dan militer.

Namun, kondisi kaum Muslim kini tentu jauh lebih rumit. Ibarat penyakit,
saat Perang Salib, umat Islam hanya terserang semacam "infeksi batu
ginjal". Kini, umat Islam terserang penyakit kompleks, sejenis kanker
ganas yang menghancurkan sel-sel tubuh. Bukan hanya secara ekonomi,
politik, dan militer (untuk kawasan tertentu, seperti Palestina), kaum Muslim terhegemoni.

Tapi, secara moral, konsep keilmuan, dan semangat pun, banyak yang tidak
percaya diri pada konsep Islam. Bahkan, lebih jauh, tak sedikit
cendekiawan, ulama, dan tokoh Islam sendiri, yang meyakini bahwa peradaban
Barat - dengan nilai-nilai sekular dan liberalnya - adalah jalan
kebangkitan umat Islam. Mereka menyerang habis-habisan pandangan tentang
"keunikan Islam". Bahwa, Islam dan juga al-Qur'an sama saja dengan agama
dan kitab lain. Konsep inna al-diina 'indallahi al-islam dan al-islaamu
ya'luu wa yu'laa 'alaihi diputar balik dan ditentang jauh-jauh. Padahal,
Barat masih percaya dan memaksakan konsep sekuler-liberalnya sebagai
pandangan hidup dunia. Pada saat yang sama, justru langka ulama-ulama yang
mumpuni dalam konsep keilmuan Islam dan sekaligus mumpuni mengkounter
konsep destruktif terhadap Islam.

Jalan kebangkitan adalah satu sunnatullah. Al-Qur'an banyak menjelaskan
tentang jatuh bangunnya satu kaum atau peradaban (Mis. QS 6:44, 17:16).
Jika umat Islam gagal belajar dari sejarah - sebagaimana diperintahkan
al-Quran - dan gagal merumuskan masalahnya secara komprehensif, serta
hanya melihat dan menangani masalahnya secara parsial dan superfisial,
sulit dibayangkan, kebangkitan Islam akan terjadi dalam waktu dekat.
Jangan-jangan, kebangkitan nanti menunggu munculnya generasi baru yang
dijanjikan Allah (QS 5:54). Sebab, generasi yang ada didominasi oleh
pangabaian terhadap problem keilmuan, akidah, syariah, ukhuwah, dan
terlalu sibuk untuk mengejar kepentingan dan kemenangan komunal, parsial,
dan sesaat. (Sabili)

Wallahu a'lam.n

Wednesday, July 27, 2005

..........Alhamdulillah

setaun lebih saya ngerjain skripsi.
baru tadi bgt kelarnya...
bener-bener semua kemudahan yang saya dapet ga bakala ada
jika ga ada yang ijinan.
maksimumin usaha, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.
bnyk bgt perubahan yang mesti dilakoni.
duh ternyata bener, nganggep tau segalanya malah jadi sok tau bgt...
bnyk bgt celah yang dapet keintip gara-gara ga lengkap..
bnyk bgt yang nyasar karena ga sesuai dengan struktur...
kertas hasil estimasi statistik, proposal, data, jurnal, poto kopian berbagai
literatur, n sedikit tisu n plastik numplek blek jadi satu di kamar,
mudah2an semuanya bukan sesuatu yang mubazir...

duh Gusti Allah,
semua yang saya lihat denger dan rasakan dapat memberi manfaat...

BAHAYA EKONOMI NEO-LIBERAL DI INDONESIA

Oleh: Dwi Condro Triono


Pernahkah kita membayangkan, 3 orang terkaya di dunia,
kekayaannya lebih besar
dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin
dunia, yang berarti
setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia?
Itulah hasil penelitian
Brecher dan Smith. Tidak kalah hebatnya, menurut
penelitian Noam Chomsky, 1%
penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia setara
dengan 60% penduduk
pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan 3 miliar
manusia.1

Di Indonesia, Putera Sampoerna (58 tahun) baru saja
menggegerkan dunia bisnis
Indonesia karena telah menjual 40% sahamnya senilai
US$ 2 miliar. Berarti, Bos
PT HM Sampoerna Tbk. tersebut akan menerima uang
senilai Rp 18,6 triliun.
Padahal Putra Sampoerna hanyalah orang nomor 387 dari
500 orang terkaya di
dunia menurut majalah Forbes.2

Sementara itu, dengan ukuran konsumsi penduduk di
bawah Rp 123 ribu perkapita
perbulan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun
2004 berjumlah 36,17 juta
jiwa atau 16,7% dari total penduduk Indonesia
(berdasarkan hasil Susenas BPS).
Jika pada tahun 2005 ini garis kemiskinan dinaikkan
menjadi Rp 140 ribu (akibat
kenaikan BBM) perkapita perbulan, maka jumlah penduduk
miskin Indonesia menjadi
40 juta jiwa (hasil analisis statistik BPS).3 Marilah
kita renungkan, apa arti
konsumsi Rp 140 ribu perbulan?

Selanjutnya, apa arti dari semua angka-angka di atas?
Jawabannya tidak lain
adalah kesenjangan ekonomi. Hasil penelitian Robert
Wade dari London School of
Economics mengungkapkan bahwa indeks gini dunia
(indeks yang menunjukkan
tingkat kesenjangan) selama 1988-1993, meningkat 6
persen. Pendapatan 10%
penduduk dunia termiskin turun lebih dari
seperempatnya, sedangkan populasi
penduduk 10 persen terkaya pendapatannya justru
meningkat 8%. (Economist, April
28, 2001).4

Kemunculan Ekonomi Neo-Liberalisme

Tahun 1776, ketika buku Adam Smith yang berjudul, The
Wealth of Nations,
terbit, dunia menyambutnya dengan gegap-gempita.
Dengan kekuatan logika-logika
ekonominya, Smith mampu meyakinkan dunia, bahwa tidak
akan lama lagi tatanan
ekonomi yang berkeadilan, yang akan menyejahterakan
seluruh lapisan manusia,
akan segera terwujud. Yang penting menurut Smith,
negara nggak usah repot;
tidak perlu ikut campur tangan dalam urusan ekonomi.
Mekanisme pasar bebas akan
dapat menyelesaikan semuanya.5

Sejarah telah mencatat, apa yang diomongkan Smith
memang bukan pepesan kosong.
Ekonomi negara-negara Barat selama periode 150-an
tahun telah mencatat
pertumbuhan ekonomi sangat pesat, yang juga diiringi
dengan tingkat harga-harga
yang bergerak relatif stabil.6 Ekonomi model ini
kemudian dikenal dengan
ekonomi liberalisme atau ekonomi kapitalisme.

Namun, resep Smith dan para penerusnya ternyata harus
berakhir dengan
malapetaka besar. Tahun 1930-an ekonomi dunia
mengalami depresi berat.
Pertumbuhan ekonomi mandeg total. Pengangguran
merajalela di mana-mana. Para
pakar ekonomi ketika itu mengalami kebingungan yang
luar biasa. Bagaimana
mungkin bencana itu bisa terjadi?

John Maynard Keynes tampil sebagai 'pembaharu
ekonomi'. Dia mengupas habis
kelemahan-kelemahan teori Smith dan para pengikutnya.
Kemudian dia memberikan
satu resep yang cukup bertentangan dengan dogma
sebelumnya, yaitu menyarankan
agar negara turut campur secara langsung guna
menyelamatkan keterpurukan
ekonomi. Resep Keynes untuk memperbaiki ekonomi negara
melalui kebijakan
fiskalnya mulai menampakkan hasil. Akan tetapi,
kemanjuran resep Keynes juga
tidak bertahan lama.7

Seiring dengan maraknya pendukung-pendukung Keynes,
pasca Perang Dunia Kedua,
muncul kelompok yang idenya berseberangan dengan
kelompok Keynes. Kelompok ini
dikenal masih setia dengan ide-ide klasiknya Adam
Smith. Mereka kemudian
dijuluki sebagai kelompok 'Kanan Baru' atau biasa
disebut dengan 'Neo-Liberal'.
Kelompok ini menyerang fondasi kebijakan Keynesian
dengan mengambil momentum
krisis ekonomi akibat inflasi yang tidak dapat diatasi
oleh kebijakan
Keynesian.8

Kaum neo-liberalis menyatakan, bahwa akibat terlalu
banyaknya campur tangan
negara, dunia terjebak dalam krisis yang
berkepanjangan pada tahun 1970-an.
Menurut mereka, peningkatan belanja publik Keynesian
dianggap menciptakan
terlalu banyak demand (permintaan). Itulah yang
menjadi penyebab timbulnya
inflasi yang semakin meluas.9

Di level kebijakan, neo-liberalisme mulai menunjukkan
eksistensinya pada tahun
1979. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher
merupakan tokoh politik yang
merevolusikan paham ini di Inggris. Untuk
justifikasinya, ia menyerukan, "There
Is No Alernatif" (TINA). Di Amerika, arsitek utamanya
adalah Ronald Reagan.10
Paham ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Pada era pasca Reagan dan Thatcher, gagasan-gagasan
neo-liberal mulai merebak
di lingkup lembaga-lembaga internasional. Melalui
GATT/WTO, IMF dan Bank Dunia,
paham neo-liberal menjadi semakin dominan dalam
usahanya menciptakan
liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh
dunia. Lembaga-lembaga ini
menekankan arti pentingnya pasar bebas dunia dan
berusaha memarjinalkan peran
negara dalam proses-proses ekonomi.11

Ekonomi Neo-Liberalisme di Indonesia

Jejak ekonomi neo-liberalisme di Indonesia dapat
ditelusuri ketika Indonesia
mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret
1966. Kebijakan Orba
lebih berpihak pada Barat.

Dengan membaiknya politik Indonesia dengan
negara-negara Barat, maka arus modal
asing mulai masuk ke Indonesia; PMA dan utang luar
negeri mulai meningkat.
Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerjasama dengan
Bank Dunia, Dana Moneter
Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB)
dibentuk suatu konsorsium
Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang
terdiri atas sejumlah negara
industri maju untuk membiayai pembangunan di
Indonesia. Saat itulah Indonesia
dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari
Sosialisme ke arah semi
Kapitalisme.12

Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an,
sistem ekonomi di Indonesia
terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi
Pemerintah banyak dibawa ke arah
libelarisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor
keuangan, sektor industri,
maupun sektor perdagangan.13

Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak
kebijakan libelarisasi ekonomi
di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di
Indonesia, yang selanjutnya
diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri
perusahaan-perusahaan
swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi
liberal Indonesia saat
itu.14

Masa pembangunan ekonomi Orde Baru pun akhirnya
berakhir. Puncak kegagalan dari
pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya
krisis moneter, yang
diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi
perekonomian Indonesia.

Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata
kebijakan perekonomian
Indonesia semakin liberal. Dengan mengikuti
garis-garis yang telah ditentukan
oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju
libelarisasi ekonomi. Hal itu
paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator
utama, yaitu:15

1. Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah
secara bertahap dan
diserahkannya harga barang-barang strategis ke
mekanisme pasar.

2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas
(floating rate) sesuai
dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya
harus dikembalikan pada
mekanisme pasar.

3. Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya
kepada pihak swasta, baik
swasta nasional maupun asing.

4. Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah
WTO dan Perjanjian GATT,
yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk
masuk dalam 'kubangan'
libelarisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.

Dampak yang Ditimbulkan

Dampak ekonomi neo-liberal bagi Indonesia setidaknya
ada 3:



1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh
swasta.

Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas,
Pemerintah Indonesia harus
melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan
ekonomi, yang ditandai dengan
banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat
hidup orang banyak (sektor
kepemilikan umum)-baik dengan cara langsung maupun
melalui proses privatisasi
BUMN-oleh swasta.

Sebagai contoh, di bidang kehutanan. Sejarah industri
perkayuan berawal dari
pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan
keluarnya PP N0. 21 Tahun
1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan pada
waktu itu, yaitu 143,7
juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia,
Pemerintah berharap
pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan
Indonesia.16

Namun, apa yang terjadi? pada masa Orde Baru, menurut
laporan Walhi yang
diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil eksploitasi
hutan di Indonesia setiap
tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang
masuk ke dalam kas negara
hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke
kantong pengusaha HPH
(Sembirin, 1994).

Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di
Indonesia sudah dikuasai oleh
dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya.17

Memasuki masa Orde Reformasi, Indonesia tinggal menuai
getahnya. Menurut
laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan (laporan
tahun 2003), diperkirakan
kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 101,79 juta
hektar dengan laju
pertumbuhan kerusakan (deforestasi) sekitar 3,8 juta
hektar pertahun.18

Dari segi perusahaan pemegang HPH, sampai akhir tahun
2004, urutan pertama
dipegang oleh Barito Pasific dengan 39 HPH, luas total
3,536 juta hektar masih
dikuasai oleh Prajogo Pangestu; urutan selanjutnya,
Kayu Lapis Indonesia dengan
17 HPH, total luas 3,143 juta hektar, atas nama Andi
Susanto; Djajanti dengan
20 HPH, total luas 2,805 juta hektar atas nama Burhan
Uray; Alas Kusuma dengan
15 HPH, total luas 2,189 juta hektar atas nama PO
Suwandi; dan seterusnya.19

Dalam bidang perminyakan, pada zaman Orde Baru, hampir
semua sumur minyak di
Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa
minyak asing yang merupakan
perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui
Caltex), Atlantic Richfield
(melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya
adalah Pertamina, baru
kemudian muncul belakangan para pengusaha swasta
nasional seperti Arifin
Panigoro dengan Medco-nya, Tommy Soeharto dengan
Humpuss-nya, Ibrahim Risjad,
Srikandi Hakim, dan Astra International.20

Pada masa Pemerintahan SBY, kondisinya semakin liberal
lagi. Jika pada masa-
masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli
distribusi minyak di
dalam negeri, maka mulai November 2005 Pemerintah
berencana membuka keran
investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta
dalam negeri maupun
asing. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Purnomo Yusgiantoro,
sudah ada 7 investor yang sudah menyatakan komitmen
melakukan investasi di
sektor hilir migas tersebut.21

Jika Pemerintah benar-benar membuka keran liberalisasi
di sektor hilir migas,
maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada
yang memperoleh fasilitas
subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh
Pertamina. Berarti subsidi
BBM harus dicabut sampai 0%. Dapat diprediksikan bahwa
harga BBM bakal naik
lagi, namun dengan merek yang berbeda-beda. Paling
tidak, sudah siap 7 merek
BBM dengan harga yang sama-sama mahalnya.

Bidang energi yang lain adalah batubara. Batubara
menjadi sumber energi
terbesar kedua setelah minyak. Minyak memasok 34% dan
batubara 23,5% kebutuhan
energi dunia. Hampir sepertiga cadangan batubara dunia
ada di kawasan Asia
Pasifik. Di Indonesia jumlah sumberdaya batubara,
termasuk yang ditemukan
produsen dan kontraktor kerjasama, sampai tahun 2001
mencapai 145,8 miliar
ton.22

Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh
penambangan swasta. Dari
total produksi 100,625 juta ton pada tahun 2002, 96,6%
dihasilkan oleh
penambang swasta.23

Pemain yang menonjol sampai tahun 2005 ini masih
didominansi oleh kelompok Bumi
Resources Tbk. milik Menko Perekonomian Aburizal
Bakrie. Kelompok ini masih
sebagai penguasa pasar (sekitar 25% dengan ekspor 2003
mencapai 44 juta ton).
Anak perusahaan kelompok ini adalah Kaltim Prima Coal
dan Arutmin Indonesia,
Adaro Indonesia, Kideco Jaya Agung, Berau Coal dan
Indominco Mandiri.
Perusahaan lain adalah PT Bukit Baiduri Enterprise,
menguasai 2.416.916 juta
ton; PT Kitadin Corporation, menguasai 2.291.249 juta
ton; PT Anugrah Bara
Kaltim, menguasai 2.474.904 juta ton; dan
seterusnya.24

Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai
negara yang mempunyai
potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas
saja, secara geologis di
berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas
yang besar. Indonesia
merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum
Mediteran dengan Sirkum
Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di
masa lampau akibat kegiatan
vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.25

Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah
aturan-aturan yang menguntungkan,
Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk
menanamkan modalnya, dimulai
sejak tahun 1967. Perusahaan yang mengawalinya adalah
PT Freeport Indonesia
(FI). Pada Kontrak Karya generasi I (KK I), FI
mendapat konsesi selama 30
tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib
menggunakan produksi
dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak
mendapat kompensasi apapun.

Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan
deposit emas yang sangat besar
di Grasberg, kemudian mengajukan pembaharuan KK dan
bisa diperpanjang dua kali
10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan
tambang lainnya. Berbeda dengan
KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya
tembaga. Namun, menurut Econit,
royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak berubah,
hanya 1-3,5%, sehingga
penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti dan deviden
FI hanya US$ 479 juta.26
Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan
pendapatan yang mampu
dihasilkan FI yaitu sekitar US$ 1,5 miliar (tahun
1996). Dari pendapatan itu 1%
diambil untuk dana pengembangan masyarakat Irian,
yaitu sebesar US$ 15 juta.27

Pada zaman Reformasi nasib PT Freeport Indonesia
semakin bersinar. Pada tahun
2001, laba bersih yang dibukukan perusahaan ini
mencapai US$ 304,2 juta. Pada
tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta. Tahun
berikutnya, 2003 laba bersihnya
melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan,
dari laba bersih sebesar
itu, sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya
15%-nya saja. Padahal
Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham
sebanyak 9,36%, sedangkan PT
Freeport menguasai 90,64% (Kontan, 6 September 2004).

Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing,
menurut Tamagola (Kompas,
14 Februari 2005), telah terjadi pengaplingan atas
daerah-daerah tambang di
Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk
Freeport, Lhok Seumawe
untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto,
Buyat-Minahasa dan Sumbawa
untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua
untuk British Petrolium,
Kaltim untuk PT Kaltim Prima Coal, dsb. Pengaplingan
tersebut menunjukkan telah
terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan
modal asing.28



2. Bobroknya lembaga keuangan dan masuknya
Indonesia ke dalam jerat utang
(debt trap).

Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah
adanya liberalisasi di
pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan
perbankan konvensional
yang berbasis pada sistem bunga. Akibat krisis itu, 16
bank dilikuidasi
Pemerintah, 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November
1997, dan 13 bank diambil-
alih (BTO).

Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang
selama ini menjadi sumber
darah bagi perputaran roda perekonomian nasional,
hingga Desember 2000
Pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659
triliun.29

Akibatnya, utang Pemerintah yang sebelum krisis hanya
US$ 55 miliar, kini
membengkak menjadi US$ 77 miliar (utang luar negeri)
ditambah Rp 695 triliun
(utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi
rekapitalisasi) dalam waktu
tidak sampai empat tahun terakhir. Utang sebesar itu
membuat rasio utang
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas
100 persen pada akhir
2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia
pada 10-25 tahun ke depan
akan terus mengalami proses destabilisasi.

Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja Pemerintah
harus mengeluarkan sekitar
empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini.
Kewajiban obligasi yang
jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12.9 triliun.
Jumlah ini akan terus
meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73.98 triliun
pada tahun 2007 dan Rp 138
triliun pada 2018. Biaya ini dibebankan pada APBN,
yang berarti rakyat juga
yang menanggungnya. Beban bunga obligasi akan semakin
menjadi-jadi dengan terus
naiknya suku bunga. Sukubunga Sertifikat Bank
Indonesia saat itu sudah mencapai
17.7%, naik dari sekitar 10% pada Semester I tahun
2000 lalu. Padahal, setiap
kenaikan sukubunga sebesar satu persen, akan
menyebabkan biaya bunga obligasi
yang harus dibayar Pemerintah naik Rp 2.2 triliun.

Buruknya kinerja sektor perbankan ini ternyata terus
berlangsung hingga saat
ini. Sepanjang tahun 2004 saja sudah ada 4 bank
ditutup, yaitu Bank Asiatic,
Bank Dagang Bali, Bank Global, dan Bank Persyarikatan
Indonesia. Akibat
penutupan itu, Pemerintah tentu harus menanggung
seluruh kerugian nasabah.
Biaya penanggungan itu lagi-lagi dibebankan kepada
rakyat melalui APBN. Hal itu
belum ditambah dengan kasus pembobolan yang dilakukan
oleh sejumlah orang ke
Bank BNI dan BRI yang nilainya mencapai miliaran,
bahkan triliunan rupiah.30

Sampai saat ini, tanggungan Pemerintah untuk dunia
perbankan belum juga susut.
Tercatat 10 bank besar Indonesia masih menikmati
obligasi Pemerintah. Hal itu
membuat APBN membayar bunganya sekitar Rp 60 triliun
setiap tahunnya. Sekali
lagi, beban itu tetap harus kembali kepada rakyat
melalui pembayaran pajak.31

Di sisi lain, sesuai dengan 'petunjuk' IMF, bank-bank
yang sudah mulai sehat
harus diprivatisasi mengikuti saudara-saudaranya yang
lain di lingkup BUMN.
Contohnya, sebanyak 51% saham Pemerintah yang ada di
bank besar seperti BCA dan
Bank Danamon harus dijual ke investor asing. Nasib
yang sama juga menimpa BUMN
sehat lainnya seperti Indosat Tbk., Telkom Tbk., Wisma
Nusantara Indonesia,
Bukit Asam Tbk., Semen Gresik, Pelindo II, dll.32



3. Munculnya kesenjangan ekonomi.

Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik
yang paling menyakitkan
adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa.
Pada masa Orde Baru
ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok. Pada tahun
1993, omset dari 14
konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam
grup Praselya Mulya, di
antaranya Om Liem (Salim Group), Ciputra (Ciputra
Group), Mochtar Riady (Lippo
Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka
Tjipta (Sinar Mas Group)
mencapai 47.2 triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia
tahun itu.33 Di sisi lain,
jumlah penduduk miskin sudah terhampar sedemikian
besarnya. Menurut data BPS
1994, dengan garis kemiskinan Rp 500 perhari, terdapat
28 juta rakyat miskin (2
juta di kota dan 26 juta di desa). Jika garis
kemiskinan dinaikkan menjadi Rp
1.000 perhari, jumlah penduduk miskin meningkat
menjadi sekitar 117 juta jiwa
atau 65% dari jumlah penduduk.34

Di era sekarang ini, keadaannya telah mengalami banyak
perubahan ke arah yang
lebih mengkhawatirkan. Fenomena yang paling mencolok
adalah terjadinya
kekuasaan menjadi kekuatan pengumpul modal.

Rachman, dalam tulisannya (Koran Tempo, 15/2/2005)
mencoba menjajar fenomena di
atas dengan data yang rapi, contohnya adalah: Yusuf
Kalla (Grup Bukaka, Ketum
Partai Golkar, Wapres RI); Agung Laksono (Grup
Hasmuda, Ketua DPR, Waket Partai
Golkar); Aburizal Bakrie (Grup Bakrie dan Bumi
Resources, Menko Perekonomian,
penyantun Freedom Institute); Surya Paloh (Grup
Media/Metro TV, Ketua Penasehat
Golkar); Fahmi Idris (Grup Kodel, Ketua Partai Golkar,
Menakertrans) dll.
Itulah sebabnya, kebijakan Pemerintah dalam
pengembangan proyek lebih banyak
untuk memenuhi kepentingan orang kaya ketimbang rakyat
miskin. Sebagai contoh,
dalam pengembangan proyek infrastruktur yang kini
sedang gencar dilakukan, dari
91 proyek yang ditawarkan pada tahap pertama tahun
2005 nilainya sudah mencapai
US$ 22.5 miliar atau setara dengan Rp 202.5 triliun.35

Itulah beberapa fakta 'menyakitkan' akibat
diterapkannya ekonomi neo-
liberalisme, khususnya di Indonesia. Akankah kita diam
saja menyaksikan semua
kezaliman ini?!


Penulis adalah aktifis Hizbut Tahrir Indonesia,
kandidat Doktor Ekonomi
Universitas Kebangsaan Malaysia.

Wednesday, July 20, 2005

....ah malu aku sama miau



kenapa harus selalu mengutuk antara sesama jika bersekutu itu lebih baik...
menagapa harus saling memarahi jika ternyata mengasihi itu menyenangkan...
lalu mengapa kita selalu bertanya dengan otak yang brilian mengenai perbedaan mendasar yang selalu berada di atmosfir tempat kita bernapas...
bukankah telapak tangan kita semuanya putih...
darah pun seragam berwarna merah...




berpikirlah dengan memandang berbagai sudut dengan merdeka...
bukankah pikiran kita adalah raja diri kita...

malu aku sama miaw....
berdansa tanpa ada rasa atau celah yang memungkinkan jatuh kedalam pikiran sempit...
ah miaw...
seandainya engkau bisa berpikir juga seperti kami...
namun tidak ya miaw...
ah jadi tambah aku pada miaw....