Thursday, July 28, 2005

Perang Salib dan Kebangkitan Islam

Kuala Lumpur, 7 Februari 2004
Oleh Adian Husaini


Saat Presiden George W. Bush menggelorakan Perang Salib (Crusade) melawan
teroris, pasca Tragedi 11 September 2001, sejatinya Bush tidak sedang
terpeleset lidah. Bush sedang mengungkap alam sadarnya, bahwa semangat
Crusade kini diperlukan menggalang kekuatan Barat. Berakhirnya Perang
Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, telah mengubah peta
dunia. Barat, dengan serangkaian ideologinya, tidak lagi legitimate untuk
eksis. Padahal, menurut penasihat kawakan politik luar negeri AS, Samuel
P. Huntington (1996), untuk self-definition dan membangun motivasi,
manusia perlu rival dan musuh. Maka, konsekuensinya, Barat perlu musuh dan
semangat baru, selepas komunisme. Semangat Crusade itulah yang ingin
digelorakan oleh Bush.
Namun, tidak terlalu sukses. Citra AS di Eropa justru jeblok. Dalam jajak
pendapat di Eropa, awal November 2003, AS menduduki posisi keenam sebagai
negara yang mengancam perdamaian dunia, setelah sekutu utamanya, Israel.

Eksistensi Barat memang sedang banyak dipertanyakan, apalagi selepas
serangan AS ke Irak. Apakah Barat telah berakhir? Thomas L. Friedman, menulis satu kolom di International Herald Tribune (3 November 2003),
berjudul "Is this the end of the West?" Barat memang telah pecah. AS dan
Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, telah berbeda dalam banyak hal
prinsip. Carld Bildt, mantan PM Swedia, menyatakan, bahwa selama satu
generasi, Amerika dan Eropa bersepakat dalam hal (tahun 1945): Aliansi
Atlantik Utara membangun komitmen bersama untuk menciptakan pemerintahan
demokratis, pasar bebas, dan menangkal pengaruh komunisme Uni Soviet. Kesepakatan ini berjalan hingga 10 tahun.

Namun kini, semua itu sudah berubah. Bagi Eropa, tahun penting adalah 1989
(keruntuhan Soviet), sedang bagi AS adalah 2001 (Tragedi WTC). Eropa dan
AS juga gagal untuk membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu
global. "We have also failed to develop a common vision for where we want
to go on global issues confronting us," kata Bildt.

Maka, dalam situasi seperti itu, Barat membutuhkan 'faktor pemersatu' (uniting factor). Dan orang seperti Bush berpikir, Crusade adalah
jawabannya. Bush berpikir logis, dan tidak kalap. Perang Salib telah menorehkan bekas yang sangat mendalam pada Barat dan Islam, hingga kini.
Buku Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's
World,(1991), memberikan gambaran jelas, bagaimana pengaruh Perang Salib terhadap dunia, kini.
Di tengah merosotnya pengaruh Gereja dan konflik antar kekuatan Kristen,
pada 25 November 1095, Paus Urbanus II, menyerukan Perang Salib. Para
ksatria Kristen diminta menghentikan konflik antar mereka dan bersatu padu
menghadapi musuh Tuhan, yang mereka sebut "Turks". "The Turks adalah
bangsa terkutuk, dan membunuh monster seperti mereka adalah suci. Maka,
wajib bagi kaum Kristen memusnahkan mereka," kata Paus

Seruan Paus Urbanus mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan
Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku
klasiknya, Islam and the West (terbit pertama tahun 1960), Norman Daniel
menyebut 'semangat Crusade adalah melakukan pembantaian demi Kasih Tuhan'.
Maka, tidak heran, jika tentara Salib kemudian melakukan pembantaian yang
luar biasa sadisnya terhadap Muslim, Yahudi, dan berbagai kelompok
masyarakat lain.

Tahun 1099, saat menaklukkan Jerusalem, mereka membantai sekitar 30.000
warganya. Puluhan ribu kaum Muslim yang mengungsi di atap al-Aqsa dibantai
dengan sadis, tanpa pandang bulu, wanita, anak-anak, atau orang tua.
Setahun sebelumnya, 1098, pasukan Salib (Franks/Crusaders) membantai
ratusan ribu kaum Muslim di Marra't un-Noman, Syria. Paus menjanjikan
pengampunan dosa bagi siapa pun yang bergabung dalam pasukan Salib dan
jaminan surga bagi yang mati dalam perang suci itu.

Karena itu, menurut Armstrong, Crusade adalah proyek kerjasama
besar-besaran Eropa di masa kegelapan mereka. Mereka dicengkeram dengan
semangat Kristen yang tinggi. Jelas, Crusade merupakan jawaban terhadap
kebutuhan Kristen Eropa ketika itu.

Dunia Islam ketika itu 'superior' dalam peradaban dibanding semua
peradaban yang ada. Islam sedang di puncak keemasan. Sementara Eropa
berada dalam kegelapan. Islam, sebagai entitas politik, masih eksis.
Khilafah masih tegak, meskipun terbagi menjadi tiga kekuatan besar (Mesir,
Andalusia, dan Baghdad). Fragmentasi politik cukup parah. Pada medio abad
11 M, Syria dan Palestina menjadi ajang rebutan antara Fathimiyah dan
Abbasiyah. Fathimi mendominasi Jerusalem antara 869-1073. Sedangkan
Abbasiyah menguasai Jerusalem antara 1073-1098.

Di tengah kehebatan peradaban Islam dan eksistensi entitas politik Islam itulah, justru pasukan Salib berhasil merebut Jerusalem. Upaya penguasa
Fathimiyah, Afdal bin Badr al-Jamali, untuk negosiasi dan berdamai dengan
Salib ditolak. Semangat pasukan Salib sedang begitu tinggi untuk merebut
Jerusalem. Mereka sangat percaya diri, meskipun lebih rendah tingkat
peradabannya (hal yang sama terjadi saat Baghdad diduduki pasukan Mongol).


Friksi politik di kalangan Muslim menjadi salah satu faktor utama
kekalahan Islam pada tahap awal Perang Salib. Respons Muslim sangat tidak
memadai. Dalam buku The Crusades: Islamic Perspective (1999), Carole
Hillenbrand, menggambarkan repons kaum Muslim yang didominasi sikap apatis, terbelit problem internal, dan kompromistis.

Penguasa Muslim di Syria, bukannya melakukan perlawanan terhadap pasukan
Salib, tetapi malah berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, The Franks
justru menunjukkan semangat tinggi, fanatik, dan memiliki motivasi tinggi
untuk mencapai tujuannya. Pada situasi seperti itulah, tampil Syekh Ali
al-Sulami (1039-1106), seorang ulama bermazhab Syafii. Ia menulis kitab berjudul Kitab al-Jihad. Tampaknya, banyak ulama dan cendekiawan Muslim
belum mengkaji Kitab ini. Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya, Al-Imam
al-Ghazali Bayna Madihihi wa Naqidihi, sama sekali tidak merujuk karya
al-Sulami, saat membahas posisi al-Ghazali dalam Perang Salib. Padahal,
kitab ini sangat penting untuk memahami kisah sukses kaum Muslim dalam
merebut kembali Jerusalem dari tangan Pasukan Salib- termasuk peran
al-Ghazali di dalamnya.

Ali al-Sulami melihat, kelemahan Muslim bukan hanya di bidang politik,
tetapi menyangkut soal sikap keagamaan. Melihat kondisi Muslim yang parah,
al-Sulami merumuskan strategi jihad dalam dua tahap: (1) Melakukan
perbaikan moral untuk mengakhiri kemunduran spiritual kaum Muslim. Ia
melihat, kekalahan Muslim adalah pelajaran dan hukuman dari Allah, sebab
mereka meninggalkan kewajiban kepada Allah dan mengabaikan kewajiban
jihad. (2) Melakukan penggalangan potensi kekuatan umat melawan Crusaders.


Dalam tahap perbaikan moral itulah, al-Sulami banyak mengutip pendapat
al-Ghazali, termasuk dalam soal jihad. Tampaknya, al-Sulami bertemu
al-Ghazali di Masjid Ummayah Damascus, saat al-Ghazali melakukan
perenungan di Masjid ini pada periode awal Perang Salib. Saat-saat itulah
al-Ghazali menulis karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin. Dalam kitabnya,
al-Sulami mendeskripsikan secara jelas kondisi, situasi dan strategi
mengalahkan pasukan Salib. Jihad ke dalam, memerangi hawa nafsu, dan jihad
ke luar memerangi musuh, dipadukan menjadi satu kekuatan yang dahsyat.

Selama puluhan tahun, dakwah al-Sulami tidak mendapat sambutan berarti.
Titik terang mulai muncul saat pasukan Muslim di bawah pimpinan Imamuddin
Zengi, merebut Edessa pada 1144. Sukses Imamuddin dilanjutkan putranya,
Nuruddin Zengi, yang mengalahkan pasukan Salib pada 1149. Para penulis
menggambarkan Nuruddin merupakan sosok religius dan pahlawan jihad.

Sepeninggal Nuruddin (1174), tampil keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi
sebagai komandan pasukan Muslim. Tokoh inilah yang berhasil membebaskan
Jerusalem dari pasukan Salib pada 1187.

Refleksi dalam berbagai hal, kondisi kaum Muslim kini, serupa dengan
kondisi saat Perang Salib berlangsung. Perang ini sendiri memakan waktu
yang panjang (1096-1204). Pasukan Salib hanya berhasil menduduki Jerusalem
sekitar 87 tahun (1099-1187). Kelemahan akidah, moral, dan politik umat
Islam dipandang sebagai satu problem. Solusi al-Sulami yang melihat
problem umat secara komprehensif dan mengajukan solusi secara integral,
perlu dipelajari. Problem politik, ekonomi, dan militer umat, tidak
dipisahkan dari problem pendidikan dan dakwah. Bahkan, ia menempatkan
aspek ini pada tahap awal, sebelum menyelesaikan problem politik dan militer.

Namun, kondisi kaum Muslim kini tentu jauh lebih rumit. Ibarat penyakit,
saat Perang Salib, umat Islam hanya terserang semacam "infeksi batu
ginjal". Kini, umat Islam terserang penyakit kompleks, sejenis kanker
ganas yang menghancurkan sel-sel tubuh. Bukan hanya secara ekonomi,
politik, dan militer (untuk kawasan tertentu, seperti Palestina), kaum Muslim terhegemoni.

Tapi, secara moral, konsep keilmuan, dan semangat pun, banyak yang tidak
percaya diri pada konsep Islam. Bahkan, lebih jauh, tak sedikit
cendekiawan, ulama, dan tokoh Islam sendiri, yang meyakini bahwa peradaban
Barat - dengan nilai-nilai sekular dan liberalnya - adalah jalan
kebangkitan umat Islam. Mereka menyerang habis-habisan pandangan tentang
"keunikan Islam". Bahwa, Islam dan juga al-Qur'an sama saja dengan agama
dan kitab lain. Konsep inna al-diina 'indallahi al-islam dan al-islaamu
ya'luu wa yu'laa 'alaihi diputar balik dan ditentang jauh-jauh. Padahal,
Barat masih percaya dan memaksakan konsep sekuler-liberalnya sebagai
pandangan hidup dunia. Pada saat yang sama, justru langka ulama-ulama yang
mumpuni dalam konsep keilmuan Islam dan sekaligus mumpuni mengkounter
konsep destruktif terhadap Islam.

Jalan kebangkitan adalah satu sunnatullah. Al-Qur'an banyak menjelaskan
tentang jatuh bangunnya satu kaum atau peradaban (Mis. QS 6:44, 17:16).
Jika umat Islam gagal belajar dari sejarah - sebagaimana diperintahkan
al-Quran - dan gagal merumuskan masalahnya secara komprehensif, serta
hanya melihat dan menangani masalahnya secara parsial dan superfisial,
sulit dibayangkan, kebangkitan Islam akan terjadi dalam waktu dekat.
Jangan-jangan, kebangkitan nanti menunggu munculnya generasi baru yang
dijanjikan Allah (QS 5:54). Sebab, generasi yang ada didominasi oleh
pangabaian terhadap problem keilmuan, akidah, syariah, ukhuwah, dan
terlalu sibuk untuk mengejar kepentingan dan kemenangan komunal, parsial,
dan sesaat. (Sabili)

Wallahu a'lam.n

No comments: