Thursday, July 28, 2005

PRIA VS COWOK

Tidak semua pria dewasa menjadi ‘pria’, ada juga yang masih begitu kekanakan setelah umurnya mencapai 40. Tenaaaang, jangan keburu marah dulu dengan kenyataan ini, mungkin memang sebagian orang dilahirkan untuk jadi ‘pria’, tapi memang ada juga yang cukup menjadi ‘cowok’ saja. Sekali lagi, jangan kawatir, terima saja diri Anda sebagai pria (P) atau sebagai cowok (C), toh semua punya nilai lebih dan kurang tersendiri. Dan yang tak kalah penting, percayalah kadang wanita tidak peduli.

Inilah Perbedaan mendasar antara seorang PRIA dan COWOK


P : Tahu jelas lima tahun lagi ia mau jadi apa
C : Tidak jelas lima menit lagi ia mau berbuat apa

P : Jago membuat wanita merasa tenang
C : Jago membuat cewek merasa senang

P : Bacaannya Jhon Grisham, mainannya golf, tontonannya CNN
C : Bacaannya Harry Potter, mainannya bilyar, tontonannya MTV

P : Sebelum umur 30 sudah banyak uang
C : Sebelum umur 30 sudah banyak dosa

P : Seimbang antara penghasilan dan pemasukan
C : Seimbang antara hutang dan pembayaran minimum

P : Mendukung emansipasi wanita, tapi tetap membayari bon makan wanita
C: Mendukung emansipasi wanita dengan membiarkan wanita bayar sendiri

P : Punya akuntan, penjahit dan dokter langganan
C : Punya salon, kafe dan bengkel langganan

P : Meminta Anda nimbrung ngobrol kalau mamanya menelepon
C : Pura-pura Anda tidak bersamanya jika mamanya menelepon

P : Putus dengan pasangannya sambil berjabatan tangan dan mengakui sulitnya menjembatani perbedaan antar mereka berdua, diiringi ucapan, “Kita tetap bisa berteman selamanya”.
C : Putus dengan pasangannya sambil kabur dari rumah, merokok berbatang -batang, plus ucapan, “Jangan undang aku ke pernikahanmu nanti!”

P : Mencintai wanita 10 % pada pertemuan awal dan meningkat terus
C : Mencintai wanita 100 % pada pertemuan awal dan menurun terus

P : Berpikir dewasa seperti orang usia 40 tahun saat berusia 17 tahun
C : Berpikir kekanakan seperti orang usia 17 tahun saat berusia 40 tahun

P : Bisa menang hanya dengan otak dalam konflik
C : Cuma bisa ngamuk, adu mulut, n adu otot kalo konflik

P : Mikirnya “Aku masih kurang pengetahuan, harus belajar lebh banyak”
C : Mikirnya “Aku yang terhebat di muka bumi, siapapun aku hadapin !!!”

P : Otak no 1, digabungin otot kalo kepaksa
C : Otot no 1, ditambah otak kalo punya

Nah … termasuk Pria atau Cowok kah kita ???

taken from
  • fendra page
  • cyber sex

    Ketika Iblis Membentangkan Sejadah



    Siang menjelang zuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu hari Jumaat, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada di dalam Masjid. Ia nampak begitu khusyuk.

    Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, melalui jendela, pintu, ventilation atau masuk melalui lubang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk melalui telinga, ke dalam saraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jemaah yang hadir. Iblis juga melekat di setiap sejadah.

    “Hai, Blis!“, Kiyai berseru, ketika baru masuk ke Masjid itu.

    Iblis merasa terusik : “Kau kerjakan saja tugasmu, Kiyai. Tidak perlu kau melarang saya. Ini hak saya untuk mengganggu setiap orang dalam Masjid ini!“, jawab Iblis marah.

    “Ini rumah Tuhan, Iblis! Tempat yang suci, kalau kau mahu mengganggu, kau lakukan diluar nanti!“, Kiyai coba mengusir.

    “Kiyai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru“.

    Kiyai termangu.

    “Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”

    “Dengan apa?” tanya Kiyai.

    “Dengan sejadah!” jawab Iblis

    “Apa yang dapat kau lakukan dengan sejadah, Blis?”

    “Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sejadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah yang sedikit, demi keuntungan besar!”

    “Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru, Blis?”

    “Bukan itu saja Kiyai…” tukas Iblis.

    “Lalu?” Jawab Kiyai.

    Iblis menjawab, “Saya juga akan masuk pada setiap designer sejadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para designer itu membuat sejadah yang lebar-lebar”

    “Untuk apa?” tukas Kiai.

    “Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiyai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sejadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya dapat ikut membentangkan sejadah“. jawab Iblis dengan yakin.

    Dialog Iblis dan Kiyai terputus seketika.

    Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sejadah. Keduanya berdampingan. Salah seorang memiliki sejadah yang lebar. Sementara yang seorang lagi, sejadahnya lebih kecil.

    Orang yang punya sejadah lebar tanpa melihat kiri kanan terus sahaja membentangkan sejadahnya. Sementara, orang yang mempunyai sejadah lebih kecil, tidak sedap hati jika harus mendesak jemaah lain yang sudah terlebih dahulu datang.

    Tanpa berfikir panjang, pemilik sejadah kecil membentangkan saja sejadahnya, sehingga sebahagian sejadah yang lebar tertutup sepertiganya. Kemudian keduanya melakukan sholat sunnah.

    “Nah, lihat itu Kiyai!“, Iblis memulai dialog lagi.

    “Yang mana?” Kiyai menjawab.

    “Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka mempunyai sejadah yang berbeza ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka“. Seru Iblis yang kemudian lenyap.

    Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf. Kiyai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunnah. Kiyai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya.

    Pemilik sejadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sambil bangun dari sujud, dia membuka sejadahya yang tertindih, lalu meletakkan sejadahnya di atas sejadah yang kecil.

    Hingga sejadah yang kecil kembali berada di bawahnya.

    Dia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sejadah yang lebih kecil, melakukan perkara yang serupa.

    Dia juga membuka sejadahnya, kerana sejadahnya ditindih oleh sejadah yang lebar.

    Keadaan ini berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada ketika sholat wajib juga, kejadian-kejadian seperti ini beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, daripada menerima di bawah. Di atas sejadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya.

    Siapa yang memiliki sejadah lebar, maka, ia akan meletakkan sejadahnya diatas sajadah yang kecil.

    Sejadah sudah dijadikan Iblis sebagai perbedaan kelas. Pemilik sejadah lebar, diindentitikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain.

    Dan pemilik sejadah kecil, adalah kelas bawahan yang setiap saat akan selalu menjadi subordinate dari orang yang berkuasa. Di atas sejadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.

    “Astaghfirullahal adziiiim“, ujar sang Kiyai perlahan.

    Wallahu’alam Bisshawab

    taken from : amanahonline

    Perang Salib dan Kebangkitan Islam

    Kuala Lumpur, 7 Februari 2004
    Oleh Adian Husaini


    Saat Presiden George W. Bush menggelorakan Perang Salib (Crusade) melawan
    teroris, pasca Tragedi 11 September 2001, sejatinya Bush tidak sedang
    terpeleset lidah. Bush sedang mengungkap alam sadarnya, bahwa semangat
    Crusade kini diperlukan menggalang kekuatan Barat. Berakhirnya Perang
    Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, telah mengubah peta
    dunia. Barat, dengan serangkaian ideologinya, tidak lagi legitimate untuk
    eksis. Padahal, menurut penasihat kawakan politik luar negeri AS, Samuel
    P. Huntington (1996), untuk self-definition dan membangun motivasi,
    manusia perlu rival dan musuh. Maka, konsekuensinya, Barat perlu musuh dan
    semangat baru, selepas komunisme. Semangat Crusade itulah yang ingin
    digelorakan oleh Bush.
    Namun, tidak terlalu sukses. Citra AS di Eropa justru jeblok. Dalam jajak
    pendapat di Eropa, awal November 2003, AS menduduki posisi keenam sebagai
    negara yang mengancam perdamaian dunia, setelah sekutu utamanya, Israel.

    Eksistensi Barat memang sedang banyak dipertanyakan, apalagi selepas
    serangan AS ke Irak. Apakah Barat telah berakhir? Thomas L. Friedman, menulis satu kolom di International Herald Tribune (3 November 2003),
    berjudul "Is this the end of the West?" Barat memang telah pecah. AS dan
    Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, telah berbeda dalam banyak hal
    prinsip. Carld Bildt, mantan PM Swedia, menyatakan, bahwa selama satu
    generasi, Amerika dan Eropa bersepakat dalam hal (tahun 1945): Aliansi
    Atlantik Utara membangun komitmen bersama untuk menciptakan pemerintahan
    demokratis, pasar bebas, dan menangkal pengaruh komunisme Uni Soviet. Kesepakatan ini berjalan hingga 10 tahun.

    Namun kini, semua itu sudah berubah. Bagi Eropa, tahun penting adalah 1989
    (keruntuhan Soviet), sedang bagi AS adalah 2001 (Tragedi WTC). Eropa dan
    AS juga gagal untuk membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu
    global. "We have also failed to develop a common vision for where we want
    to go on global issues confronting us," kata Bildt.

    Maka, dalam situasi seperti itu, Barat membutuhkan 'faktor pemersatu' (uniting factor). Dan orang seperti Bush berpikir, Crusade adalah
    jawabannya. Bush berpikir logis, dan tidak kalap. Perang Salib telah menorehkan bekas yang sangat mendalam pada Barat dan Islam, hingga kini.
    Buku Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's
    World,(1991), memberikan gambaran jelas, bagaimana pengaruh Perang Salib terhadap dunia, kini.
    Di tengah merosotnya pengaruh Gereja dan konflik antar kekuatan Kristen,
    pada 25 November 1095, Paus Urbanus II, menyerukan Perang Salib. Para
    ksatria Kristen diminta menghentikan konflik antar mereka dan bersatu padu
    menghadapi musuh Tuhan, yang mereka sebut "Turks". "The Turks adalah
    bangsa terkutuk, dan membunuh monster seperti mereka adalah suci. Maka,
    wajib bagi kaum Kristen memusnahkan mereka," kata Paus

    Seruan Paus Urbanus mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan
    Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku
    klasiknya, Islam and the West (terbit pertama tahun 1960), Norman Daniel
    menyebut 'semangat Crusade adalah melakukan pembantaian demi Kasih Tuhan'.
    Maka, tidak heran, jika tentara Salib kemudian melakukan pembantaian yang
    luar biasa sadisnya terhadap Muslim, Yahudi, dan berbagai kelompok
    masyarakat lain.

    Tahun 1099, saat menaklukkan Jerusalem, mereka membantai sekitar 30.000
    warganya. Puluhan ribu kaum Muslim yang mengungsi di atap al-Aqsa dibantai
    dengan sadis, tanpa pandang bulu, wanita, anak-anak, atau orang tua.
    Setahun sebelumnya, 1098, pasukan Salib (Franks/Crusaders) membantai
    ratusan ribu kaum Muslim di Marra't un-Noman, Syria. Paus menjanjikan
    pengampunan dosa bagi siapa pun yang bergabung dalam pasukan Salib dan
    jaminan surga bagi yang mati dalam perang suci itu.

    Karena itu, menurut Armstrong, Crusade adalah proyek kerjasama
    besar-besaran Eropa di masa kegelapan mereka. Mereka dicengkeram dengan
    semangat Kristen yang tinggi. Jelas, Crusade merupakan jawaban terhadap
    kebutuhan Kristen Eropa ketika itu.

    Dunia Islam ketika itu 'superior' dalam peradaban dibanding semua
    peradaban yang ada. Islam sedang di puncak keemasan. Sementara Eropa
    berada dalam kegelapan. Islam, sebagai entitas politik, masih eksis.
    Khilafah masih tegak, meskipun terbagi menjadi tiga kekuatan besar (Mesir,
    Andalusia, dan Baghdad). Fragmentasi politik cukup parah. Pada medio abad
    11 M, Syria dan Palestina menjadi ajang rebutan antara Fathimiyah dan
    Abbasiyah. Fathimi mendominasi Jerusalem antara 869-1073. Sedangkan
    Abbasiyah menguasai Jerusalem antara 1073-1098.

    Di tengah kehebatan peradaban Islam dan eksistensi entitas politik Islam itulah, justru pasukan Salib berhasil merebut Jerusalem. Upaya penguasa
    Fathimiyah, Afdal bin Badr al-Jamali, untuk negosiasi dan berdamai dengan
    Salib ditolak. Semangat pasukan Salib sedang begitu tinggi untuk merebut
    Jerusalem. Mereka sangat percaya diri, meskipun lebih rendah tingkat
    peradabannya (hal yang sama terjadi saat Baghdad diduduki pasukan Mongol).


    Friksi politik di kalangan Muslim menjadi salah satu faktor utama
    kekalahan Islam pada tahap awal Perang Salib. Respons Muslim sangat tidak
    memadai. Dalam buku The Crusades: Islamic Perspective (1999), Carole
    Hillenbrand, menggambarkan repons kaum Muslim yang didominasi sikap apatis, terbelit problem internal, dan kompromistis.

    Penguasa Muslim di Syria, bukannya melakukan perlawanan terhadap pasukan
    Salib, tetapi malah berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, The Franks
    justru menunjukkan semangat tinggi, fanatik, dan memiliki motivasi tinggi
    untuk mencapai tujuannya. Pada situasi seperti itulah, tampil Syekh Ali
    al-Sulami (1039-1106), seorang ulama bermazhab Syafii. Ia menulis kitab berjudul Kitab al-Jihad. Tampaknya, banyak ulama dan cendekiawan Muslim
    belum mengkaji Kitab ini. Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya, Al-Imam
    al-Ghazali Bayna Madihihi wa Naqidihi, sama sekali tidak merujuk karya
    al-Sulami, saat membahas posisi al-Ghazali dalam Perang Salib. Padahal,
    kitab ini sangat penting untuk memahami kisah sukses kaum Muslim dalam
    merebut kembali Jerusalem dari tangan Pasukan Salib- termasuk peran
    al-Ghazali di dalamnya.

    Ali al-Sulami melihat, kelemahan Muslim bukan hanya di bidang politik,
    tetapi menyangkut soal sikap keagamaan. Melihat kondisi Muslim yang parah,
    al-Sulami merumuskan strategi jihad dalam dua tahap: (1) Melakukan
    perbaikan moral untuk mengakhiri kemunduran spiritual kaum Muslim. Ia
    melihat, kekalahan Muslim adalah pelajaran dan hukuman dari Allah, sebab
    mereka meninggalkan kewajiban kepada Allah dan mengabaikan kewajiban
    jihad. (2) Melakukan penggalangan potensi kekuatan umat melawan Crusaders.


    Dalam tahap perbaikan moral itulah, al-Sulami banyak mengutip pendapat
    al-Ghazali, termasuk dalam soal jihad. Tampaknya, al-Sulami bertemu
    al-Ghazali di Masjid Ummayah Damascus, saat al-Ghazali melakukan
    perenungan di Masjid ini pada periode awal Perang Salib. Saat-saat itulah
    al-Ghazali menulis karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin. Dalam kitabnya,
    al-Sulami mendeskripsikan secara jelas kondisi, situasi dan strategi
    mengalahkan pasukan Salib. Jihad ke dalam, memerangi hawa nafsu, dan jihad
    ke luar memerangi musuh, dipadukan menjadi satu kekuatan yang dahsyat.

    Selama puluhan tahun, dakwah al-Sulami tidak mendapat sambutan berarti.
    Titik terang mulai muncul saat pasukan Muslim di bawah pimpinan Imamuddin
    Zengi, merebut Edessa pada 1144. Sukses Imamuddin dilanjutkan putranya,
    Nuruddin Zengi, yang mengalahkan pasukan Salib pada 1149. Para penulis
    menggambarkan Nuruddin merupakan sosok religius dan pahlawan jihad.

    Sepeninggal Nuruddin (1174), tampil keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi
    sebagai komandan pasukan Muslim. Tokoh inilah yang berhasil membebaskan
    Jerusalem dari pasukan Salib pada 1187.

    Refleksi dalam berbagai hal, kondisi kaum Muslim kini, serupa dengan
    kondisi saat Perang Salib berlangsung. Perang ini sendiri memakan waktu
    yang panjang (1096-1204). Pasukan Salib hanya berhasil menduduki Jerusalem
    sekitar 87 tahun (1099-1187). Kelemahan akidah, moral, dan politik umat
    Islam dipandang sebagai satu problem. Solusi al-Sulami yang melihat
    problem umat secara komprehensif dan mengajukan solusi secara integral,
    perlu dipelajari. Problem politik, ekonomi, dan militer umat, tidak
    dipisahkan dari problem pendidikan dan dakwah. Bahkan, ia menempatkan
    aspek ini pada tahap awal, sebelum menyelesaikan problem politik dan militer.

    Namun, kondisi kaum Muslim kini tentu jauh lebih rumit. Ibarat penyakit,
    saat Perang Salib, umat Islam hanya terserang semacam "infeksi batu
    ginjal". Kini, umat Islam terserang penyakit kompleks, sejenis kanker
    ganas yang menghancurkan sel-sel tubuh. Bukan hanya secara ekonomi,
    politik, dan militer (untuk kawasan tertentu, seperti Palestina), kaum Muslim terhegemoni.

    Tapi, secara moral, konsep keilmuan, dan semangat pun, banyak yang tidak
    percaya diri pada konsep Islam. Bahkan, lebih jauh, tak sedikit
    cendekiawan, ulama, dan tokoh Islam sendiri, yang meyakini bahwa peradaban
    Barat - dengan nilai-nilai sekular dan liberalnya - adalah jalan
    kebangkitan umat Islam. Mereka menyerang habis-habisan pandangan tentang
    "keunikan Islam". Bahwa, Islam dan juga al-Qur'an sama saja dengan agama
    dan kitab lain. Konsep inna al-diina 'indallahi al-islam dan al-islaamu
    ya'luu wa yu'laa 'alaihi diputar balik dan ditentang jauh-jauh. Padahal,
    Barat masih percaya dan memaksakan konsep sekuler-liberalnya sebagai
    pandangan hidup dunia. Pada saat yang sama, justru langka ulama-ulama yang
    mumpuni dalam konsep keilmuan Islam dan sekaligus mumpuni mengkounter
    konsep destruktif terhadap Islam.

    Jalan kebangkitan adalah satu sunnatullah. Al-Qur'an banyak menjelaskan
    tentang jatuh bangunnya satu kaum atau peradaban (Mis. QS 6:44, 17:16).
    Jika umat Islam gagal belajar dari sejarah - sebagaimana diperintahkan
    al-Quran - dan gagal merumuskan masalahnya secara komprehensif, serta
    hanya melihat dan menangani masalahnya secara parsial dan superfisial,
    sulit dibayangkan, kebangkitan Islam akan terjadi dalam waktu dekat.
    Jangan-jangan, kebangkitan nanti menunggu munculnya generasi baru yang
    dijanjikan Allah (QS 5:54). Sebab, generasi yang ada didominasi oleh
    pangabaian terhadap problem keilmuan, akidah, syariah, ukhuwah, dan
    terlalu sibuk untuk mengejar kepentingan dan kemenangan komunal, parsial,
    dan sesaat. (Sabili)

    Wallahu a'lam.n

    Wednesday, July 27, 2005

    ..........Alhamdulillah

    setaun lebih saya ngerjain skripsi.
    baru tadi bgt kelarnya...
    bener-bener semua kemudahan yang saya dapet ga bakala ada
    jika ga ada yang ijinan.
    maksimumin usaha, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.
    bnyk bgt perubahan yang mesti dilakoni.
    duh ternyata bener, nganggep tau segalanya malah jadi sok tau bgt...
    bnyk bgt celah yang dapet keintip gara-gara ga lengkap..
    bnyk bgt yang nyasar karena ga sesuai dengan struktur...
    kertas hasil estimasi statistik, proposal, data, jurnal, poto kopian berbagai
    literatur, n sedikit tisu n plastik numplek blek jadi satu di kamar,
    mudah2an semuanya bukan sesuatu yang mubazir...

    duh Gusti Allah,
    semua yang saya lihat denger dan rasakan dapat memberi manfaat...

    BAHAYA EKONOMI NEO-LIBERAL DI INDONESIA

    Oleh: Dwi Condro Triono


    Pernahkah kita membayangkan, 3 orang terkaya di dunia,
    kekayaannya lebih besar
    dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin
    dunia, yang berarti
    setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia?
    Itulah hasil penelitian
    Brecher dan Smith. Tidak kalah hebatnya, menurut
    penelitian Noam Chomsky, 1%
    penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia setara
    dengan 60% penduduk
    pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan 3 miliar
    manusia.1

    Di Indonesia, Putera Sampoerna (58 tahun) baru saja
    menggegerkan dunia bisnis
    Indonesia karena telah menjual 40% sahamnya senilai
    US$ 2 miliar. Berarti, Bos
    PT HM Sampoerna Tbk. tersebut akan menerima uang
    senilai Rp 18,6 triliun.
    Padahal Putra Sampoerna hanyalah orang nomor 387 dari
    500 orang terkaya di
    dunia menurut majalah Forbes.2

    Sementara itu, dengan ukuran konsumsi penduduk di
    bawah Rp 123 ribu perkapita
    perbulan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun
    2004 berjumlah 36,17 juta
    jiwa atau 16,7% dari total penduduk Indonesia
    (berdasarkan hasil Susenas BPS).
    Jika pada tahun 2005 ini garis kemiskinan dinaikkan
    menjadi Rp 140 ribu (akibat
    kenaikan BBM) perkapita perbulan, maka jumlah penduduk
    miskin Indonesia menjadi
    40 juta jiwa (hasil analisis statistik BPS).3 Marilah
    kita renungkan, apa arti
    konsumsi Rp 140 ribu perbulan?

    Selanjutnya, apa arti dari semua angka-angka di atas?
    Jawabannya tidak lain
    adalah kesenjangan ekonomi. Hasil penelitian Robert
    Wade dari London School of
    Economics mengungkapkan bahwa indeks gini dunia
    (indeks yang menunjukkan
    tingkat kesenjangan) selama 1988-1993, meningkat 6
    persen. Pendapatan 10%
    penduduk dunia termiskin turun lebih dari
    seperempatnya, sedangkan populasi
    penduduk 10 persen terkaya pendapatannya justru
    meningkat 8%. (Economist, April
    28, 2001).4

    Kemunculan Ekonomi Neo-Liberalisme

    Tahun 1776, ketika buku Adam Smith yang berjudul, The
    Wealth of Nations,
    terbit, dunia menyambutnya dengan gegap-gempita.
    Dengan kekuatan logika-logika
    ekonominya, Smith mampu meyakinkan dunia, bahwa tidak
    akan lama lagi tatanan
    ekonomi yang berkeadilan, yang akan menyejahterakan
    seluruh lapisan manusia,
    akan segera terwujud. Yang penting menurut Smith,
    negara nggak usah repot;
    tidak perlu ikut campur tangan dalam urusan ekonomi.
    Mekanisme pasar bebas akan
    dapat menyelesaikan semuanya.5

    Sejarah telah mencatat, apa yang diomongkan Smith
    memang bukan pepesan kosong.
    Ekonomi negara-negara Barat selama periode 150-an
    tahun telah mencatat
    pertumbuhan ekonomi sangat pesat, yang juga diiringi
    dengan tingkat harga-harga
    yang bergerak relatif stabil.6 Ekonomi model ini
    kemudian dikenal dengan
    ekonomi liberalisme atau ekonomi kapitalisme.

    Namun, resep Smith dan para penerusnya ternyata harus
    berakhir dengan
    malapetaka besar. Tahun 1930-an ekonomi dunia
    mengalami depresi berat.
    Pertumbuhan ekonomi mandeg total. Pengangguran
    merajalela di mana-mana. Para
    pakar ekonomi ketika itu mengalami kebingungan yang
    luar biasa. Bagaimana
    mungkin bencana itu bisa terjadi?

    John Maynard Keynes tampil sebagai 'pembaharu
    ekonomi'. Dia mengupas habis
    kelemahan-kelemahan teori Smith dan para pengikutnya.
    Kemudian dia memberikan
    satu resep yang cukup bertentangan dengan dogma
    sebelumnya, yaitu menyarankan
    agar negara turut campur secara langsung guna
    menyelamatkan keterpurukan
    ekonomi. Resep Keynes untuk memperbaiki ekonomi negara
    melalui kebijakan
    fiskalnya mulai menampakkan hasil. Akan tetapi,
    kemanjuran resep Keynes juga
    tidak bertahan lama.7

    Seiring dengan maraknya pendukung-pendukung Keynes,
    pasca Perang Dunia Kedua,
    muncul kelompok yang idenya berseberangan dengan
    kelompok Keynes. Kelompok ini
    dikenal masih setia dengan ide-ide klasiknya Adam
    Smith. Mereka kemudian
    dijuluki sebagai kelompok 'Kanan Baru' atau biasa
    disebut dengan 'Neo-Liberal'.
    Kelompok ini menyerang fondasi kebijakan Keynesian
    dengan mengambil momentum
    krisis ekonomi akibat inflasi yang tidak dapat diatasi
    oleh kebijakan
    Keynesian.8

    Kaum neo-liberalis menyatakan, bahwa akibat terlalu
    banyaknya campur tangan
    negara, dunia terjebak dalam krisis yang
    berkepanjangan pada tahun 1970-an.
    Menurut mereka, peningkatan belanja publik Keynesian
    dianggap menciptakan
    terlalu banyak demand (permintaan). Itulah yang
    menjadi penyebab timbulnya
    inflasi yang semakin meluas.9

    Di level kebijakan, neo-liberalisme mulai menunjukkan
    eksistensinya pada tahun
    1979. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher
    merupakan tokoh politik yang
    merevolusikan paham ini di Inggris. Untuk
    justifikasinya, ia menyerukan, "There
    Is No Alernatif" (TINA). Di Amerika, arsitek utamanya
    adalah Ronald Reagan.10
    Paham ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia.

    Pada era pasca Reagan dan Thatcher, gagasan-gagasan
    neo-liberal mulai merebak
    di lingkup lembaga-lembaga internasional. Melalui
    GATT/WTO, IMF dan Bank Dunia,
    paham neo-liberal menjadi semakin dominan dalam
    usahanya menciptakan
    liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh
    dunia. Lembaga-lembaga ini
    menekankan arti pentingnya pasar bebas dunia dan
    berusaha memarjinalkan peran
    negara dalam proses-proses ekonomi.11

    Ekonomi Neo-Liberalisme di Indonesia

    Jejak ekonomi neo-liberalisme di Indonesia dapat
    ditelusuri ketika Indonesia
    mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret
    1966. Kebijakan Orba
    lebih berpihak pada Barat.

    Dengan membaiknya politik Indonesia dengan
    negara-negara Barat, maka arus modal
    asing mulai masuk ke Indonesia; PMA dan utang luar
    negeri mulai meningkat.
    Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerjasama dengan
    Bank Dunia, Dana Moneter
    Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB)
    dibentuk suatu konsorsium
    Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang
    terdiri atas sejumlah negara
    industri maju untuk membiayai pembangunan di
    Indonesia. Saat itulah Indonesia
    dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari
    Sosialisme ke arah semi
    Kapitalisme.12

    Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an,
    sistem ekonomi di Indonesia
    terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi
    Pemerintah banyak dibawa ke arah
    libelarisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor
    keuangan, sektor industri,
    maupun sektor perdagangan.13

    Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak
    kebijakan libelarisasi ekonomi
    di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di
    Indonesia, yang selanjutnya
    diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri
    perusahaan-perusahaan
    swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi
    liberal Indonesia saat
    itu.14

    Masa pembangunan ekonomi Orde Baru pun akhirnya
    berakhir. Puncak kegagalan dari
    pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya
    krisis moneter, yang
    diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi
    perekonomian Indonesia.

    Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata
    kebijakan perekonomian
    Indonesia semakin liberal. Dengan mengikuti
    garis-garis yang telah ditentukan
    oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju
    libelarisasi ekonomi. Hal itu
    paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator
    utama, yaitu:15

    1. Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah
    secara bertahap dan
    diserahkannya harga barang-barang strategis ke
    mekanisme pasar.

    2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas
    (floating rate) sesuai
    dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya
    harus dikembalikan pada
    mekanisme pasar.

    3. Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya
    kepada pihak swasta, baik
    swasta nasional maupun asing.

    4. Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah
    WTO dan Perjanjian GATT,
    yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk
    masuk dalam 'kubangan'
    libelarisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.

    Dampak yang Ditimbulkan

    Dampak ekonomi neo-liberal bagi Indonesia setidaknya
    ada 3:



    1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh
    swasta.

    Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas,
    Pemerintah Indonesia harus
    melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan
    ekonomi, yang ditandai dengan
    banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat
    hidup orang banyak (sektor
    kepemilikan umum)-baik dengan cara langsung maupun
    melalui proses privatisasi
    BUMN-oleh swasta.

    Sebagai contoh, di bidang kehutanan. Sejarah industri
    perkayuan berawal dari
    pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan
    keluarnya PP N0. 21 Tahun
    1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak
    Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
    Dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan pada
    waktu itu, yaitu 143,7
    juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia,
    Pemerintah berharap
    pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan
    Indonesia.16

    Namun, apa yang terjadi? pada masa Orde Baru, menurut
    laporan Walhi yang
    diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil eksploitasi
    hutan di Indonesia setiap
    tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang
    masuk ke dalam kas negara
    hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke
    kantong pengusaha HPH
    (Sembirin, 1994).

    Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di
    Indonesia sudah dikuasai oleh
    dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya.17

    Memasuki masa Orde Reformasi, Indonesia tinggal menuai
    getahnya. Menurut
    laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan (laporan
    tahun 2003), diperkirakan
    kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 101,79 juta
    hektar dengan laju
    pertumbuhan kerusakan (deforestasi) sekitar 3,8 juta
    hektar pertahun.18

    Dari segi perusahaan pemegang HPH, sampai akhir tahun
    2004, urutan pertama
    dipegang oleh Barito Pasific dengan 39 HPH, luas total
    3,536 juta hektar masih
    dikuasai oleh Prajogo Pangestu; urutan selanjutnya,
    Kayu Lapis Indonesia dengan
    17 HPH, total luas 3,143 juta hektar, atas nama Andi
    Susanto; Djajanti dengan
    20 HPH, total luas 2,805 juta hektar atas nama Burhan
    Uray; Alas Kusuma dengan
    15 HPH, total luas 2,189 juta hektar atas nama PO
    Suwandi; dan seterusnya.19

    Dalam bidang perminyakan, pada zaman Orde Baru, hampir
    semua sumur minyak di
    Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa
    minyak asing yang merupakan
    perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui
    Caltex), Atlantic Richfield
    (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya
    adalah Pertamina, baru
    kemudian muncul belakangan para pengusaha swasta
    nasional seperti Arifin
    Panigoro dengan Medco-nya, Tommy Soeharto dengan
    Humpuss-nya, Ibrahim Risjad,
    Srikandi Hakim, dan Astra International.20

    Pada masa Pemerintahan SBY, kondisinya semakin liberal
    lagi. Jika pada masa-
    masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli
    distribusi minyak di
    dalam negeri, maka mulai November 2005 Pemerintah
    berencana membuka keran
    investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta
    dalam negeri maupun
    asing. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
    Purnomo Yusgiantoro,
    sudah ada 7 investor yang sudah menyatakan komitmen
    melakukan investasi di
    sektor hilir migas tersebut.21

    Jika Pemerintah benar-benar membuka keran liberalisasi
    di sektor hilir migas,
    maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada
    yang memperoleh fasilitas
    subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh
    Pertamina. Berarti subsidi
    BBM harus dicabut sampai 0%. Dapat diprediksikan bahwa
    harga BBM bakal naik
    lagi, namun dengan merek yang berbeda-beda. Paling
    tidak, sudah siap 7 merek
    BBM dengan harga yang sama-sama mahalnya.

    Bidang energi yang lain adalah batubara. Batubara
    menjadi sumber energi
    terbesar kedua setelah minyak. Minyak memasok 34% dan
    batubara 23,5% kebutuhan
    energi dunia. Hampir sepertiga cadangan batubara dunia
    ada di kawasan Asia
    Pasifik. Di Indonesia jumlah sumberdaya batubara,
    termasuk yang ditemukan
    produsen dan kontraktor kerjasama, sampai tahun 2001
    mencapai 145,8 miliar
    ton.22

    Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh
    penambangan swasta. Dari
    total produksi 100,625 juta ton pada tahun 2002, 96,6%
    dihasilkan oleh
    penambang swasta.23

    Pemain yang menonjol sampai tahun 2005 ini masih
    didominansi oleh kelompok Bumi
    Resources Tbk. milik Menko Perekonomian Aburizal
    Bakrie. Kelompok ini masih
    sebagai penguasa pasar (sekitar 25% dengan ekspor 2003
    mencapai 44 juta ton).
    Anak perusahaan kelompok ini adalah Kaltim Prima Coal
    dan Arutmin Indonesia,
    Adaro Indonesia, Kideco Jaya Agung, Berau Coal dan
    Indominco Mandiri.
    Perusahaan lain adalah PT Bukit Baiduri Enterprise,
    menguasai 2.416.916 juta
    ton; PT Kitadin Corporation, menguasai 2.291.249 juta
    ton; PT Anugrah Bara
    Kaltim, menguasai 2.474.904 juta ton; dan
    seterusnya.24

    Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai
    negara yang mempunyai
    potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas
    saja, secara geologis di
    berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas
    yang besar. Indonesia
    merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum
    Mediteran dengan Sirkum
    Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di
    masa lampau akibat kegiatan
    vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.25

    Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah
    aturan-aturan yang menguntungkan,
    Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk
    menanamkan modalnya, dimulai
    sejak tahun 1967. Perusahaan yang mengawalinya adalah
    PT Freeport Indonesia
    (FI). Pada Kontrak Karya generasi I (KK I), FI
    mendapat konsesi selama 30
    tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib
    menggunakan produksi
    dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak
    mendapat kompensasi apapun.

    Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan
    deposit emas yang sangat besar
    di Grasberg, kemudian mengajukan pembaharuan KK dan
    bisa diperpanjang dua kali
    10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan
    tambang lainnya. Berbeda dengan
    KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya
    tembaga. Namun, menurut Econit,
    royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak berubah,
    hanya 1-3,5%, sehingga
    penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti dan deviden
    FI hanya US$ 479 juta.26
    Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan
    pendapatan yang mampu
    dihasilkan FI yaitu sekitar US$ 1,5 miliar (tahun
    1996). Dari pendapatan itu 1%
    diambil untuk dana pengembangan masyarakat Irian,
    yaitu sebesar US$ 15 juta.27

    Pada zaman Reformasi nasib PT Freeport Indonesia
    semakin bersinar. Pada tahun
    2001, laba bersih yang dibukukan perusahaan ini
    mencapai US$ 304,2 juta. Pada
    tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta. Tahun
    berikutnya, 2003 laba bersihnya
    melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan,
    dari laba bersih sebesar
    itu, sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya
    15%-nya saja. Padahal
    Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham
    sebanyak 9,36%, sedangkan PT
    Freeport menguasai 90,64% (Kontan, 6 September 2004).

    Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing,
    menurut Tamagola (Kompas,
    14 Februari 2005), telah terjadi pengaplingan atas
    daerah-daerah tambang di
    Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk
    Freeport, Lhok Seumawe
    untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto,
    Buyat-Minahasa dan Sumbawa
    untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua
    untuk British Petrolium,
    Kaltim untuk PT Kaltim Prima Coal, dsb. Pengaplingan
    tersebut menunjukkan telah
    terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan
    modal asing.28



    2. Bobroknya lembaga keuangan dan masuknya
    Indonesia ke dalam jerat utang
    (debt trap).

    Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah
    adanya liberalisasi di
    pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang
    melanda Indonesia sejak
    pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan
    perbankan konvensional
    yang berbasis pada sistem bunga. Akibat krisis itu, 16
    bank dilikuidasi
    Pemerintah, 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November
    1997, dan 13 bank diambil-
    alih (BTO).

    Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang
    selama ini menjadi sumber
    darah bagi perputaran roda perekonomian nasional,
    hingga Desember 2000
    Pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659
    triliun.29

    Akibatnya, utang Pemerintah yang sebelum krisis hanya
    US$ 55 miliar, kini
    membengkak menjadi US$ 77 miliar (utang luar negeri)
    ditambah Rp 695 triliun
    (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi
    rekapitalisasi) dalam waktu
    tidak sampai empat tahun terakhir. Utang sebesar itu
    membuat rasio utang
    terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas
    100 persen pada akhir
    2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia
    pada 10-25 tahun ke depan
    akan terus mengalami proses destabilisasi.

    Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja Pemerintah
    harus mengeluarkan sekitar
    empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini.
    Kewajiban obligasi yang
    jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12.9 triliun.
    Jumlah ini akan terus
    meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73.98 triliun
    pada tahun 2007 dan Rp 138
    triliun pada 2018. Biaya ini dibebankan pada APBN,
    yang berarti rakyat juga
    yang menanggungnya. Beban bunga obligasi akan semakin
    menjadi-jadi dengan terus
    naiknya suku bunga. Sukubunga Sertifikat Bank
    Indonesia saat itu sudah mencapai
    17.7%, naik dari sekitar 10% pada Semester I tahun
    2000 lalu. Padahal, setiap
    kenaikan sukubunga sebesar satu persen, akan
    menyebabkan biaya bunga obligasi
    yang harus dibayar Pemerintah naik Rp 2.2 triliun.

    Buruknya kinerja sektor perbankan ini ternyata terus
    berlangsung hingga saat
    ini. Sepanjang tahun 2004 saja sudah ada 4 bank
    ditutup, yaitu Bank Asiatic,
    Bank Dagang Bali, Bank Global, dan Bank Persyarikatan
    Indonesia. Akibat
    penutupan itu, Pemerintah tentu harus menanggung
    seluruh kerugian nasabah.
    Biaya penanggungan itu lagi-lagi dibebankan kepada
    rakyat melalui APBN. Hal itu
    belum ditambah dengan kasus pembobolan yang dilakukan
    oleh sejumlah orang ke
    Bank BNI dan BRI yang nilainya mencapai miliaran,
    bahkan triliunan rupiah.30

    Sampai saat ini, tanggungan Pemerintah untuk dunia
    perbankan belum juga susut.
    Tercatat 10 bank besar Indonesia masih menikmati
    obligasi Pemerintah. Hal itu
    membuat APBN membayar bunganya sekitar Rp 60 triliun
    setiap tahunnya. Sekali
    lagi, beban itu tetap harus kembali kepada rakyat
    melalui pembayaran pajak.31

    Di sisi lain, sesuai dengan 'petunjuk' IMF, bank-bank
    yang sudah mulai sehat
    harus diprivatisasi mengikuti saudara-saudaranya yang
    lain di lingkup BUMN.
    Contohnya, sebanyak 51% saham Pemerintah yang ada di
    bank besar seperti BCA dan
    Bank Danamon harus dijual ke investor asing. Nasib
    yang sama juga menimpa BUMN
    sehat lainnya seperti Indosat Tbk., Telkom Tbk., Wisma
    Nusantara Indonesia,
    Bukit Asam Tbk., Semen Gresik, Pelindo II, dll.32



    3. Munculnya kesenjangan ekonomi.

    Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik
    yang paling menyakitkan
    adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa.
    Pada masa Orde Baru
    ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok. Pada tahun
    1993, omset dari 14
    konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam
    grup Praselya Mulya, di
    antaranya Om Liem (Salim Group), Ciputra (Ciputra
    Group), Mochtar Riady (Lippo
    Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka
    Tjipta (Sinar Mas Group)
    mencapai 47.2 triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia
    tahun itu.33 Di sisi lain,
    jumlah penduduk miskin sudah terhampar sedemikian
    besarnya. Menurut data BPS
    1994, dengan garis kemiskinan Rp 500 perhari, terdapat
    28 juta rakyat miskin (2
    juta di kota dan 26 juta di desa). Jika garis
    kemiskinan dinaikkan menjadi Rp
    1.000 perhari, jumlah penduduk miskin meningkat
    menjadi sekitar 117 juta jiwa
    atau 65% dari jumlah penduduk.34

    Di era sekarang ini, keadaannya telah mengalami banyak
    perubahan ke arah yang
    lebih mengkhawatirkan. Fenomena yang paling mencolok
    adalah terjadinya
    kekuasaan menjadi kekuatan pengumpul modal.

    Rachman, dalam tulisannya (Koran Tempo, 15/2/2005)
    mencoba menjajar fenomena di
    atas dengan data yang rapi, contohnya adalah: Yusuf
    Kalla (Grup Bukaka, Ketum
    Partai Golkar, Wapres RI); Agung Laksono (Grup
    Hasmuda, Ketua DPR, Waket Partai
    Golkar); Aburizal Bakrie (Grup Bakrie dan Bumi
    Resources, Menko Perekonomian,
    penyantun Freedom Institute); Surya Paloh (Grup
    Media/Metro TV, Ketua Penasehat
    Golkar); Fahmi Idris (Grup Kodel, Ketua Partai Golkar,
    Menakertrans) dll.
    Itulah sebabnya, kebijakan Pemerintah dalam
    pengembangan proyek lebih banyak
    untuk memenuhi kepentingan orang kaya ketimbang rakyat
    miskin. Sebagai contoh,
    dalam pengembangan proyek infrastruktur yang kini
    sedang gencar dilakukan, dari
    91 proyek yang ditawarkan pada tahap pertama tahun
    2005 nilainya sudah mencapai
    US$ 22.5 miliar atau setara dengan Rp 202.5 triliun.35

    Itulah beberapa fakta 'menyakitkan' akibat
    diterapkannya ekonomi neo-
    liberalisme, khususnya di Indonesia. Akankah kita diam
    saja menyaksikan semua
    kezaliman ini?!


    Penulis adalah aktifis Hizbut Tahrir Indonesia,
    kandidat Doktor Ekonomi
    Universitas Kebangsaan Malaysia.

    Wednesday, July 20, 2005

    ....ah malu aku sama miau



    kenapa harus selalu mengutuk antara sesama jika bersekutu itu lebih baik...
    menagapa harus saling memarahi jika ternyata mengasihi itu menyenangkan...
    lalu mengapa kita selalu bertanya dengan otak yang brilian mengenai perbedaan mendasar yang selalu berada di atmosfir tempat kita bernapas...
    bukankah telapak tangan kita semuanya putih...
    darah pun seragam berwarna merah...




    berpikirlah dengan memandang berbagai sudut dengan merdeka...
    bukankah pikiran kita adalah raja diri kita...

    malu aku sama miaw....
    berdansa tanpa ada rasa atau celah yang memungkinkan jatuh kedalam pikiran sempit...
    ah miaw...
    seandainya engkau bisa berpikir juga seperti kami...
    namun tidak ya miaw...
    ah jadi tambah aku pada miaw....

    Tuesday, July 19, 2005

    Indonesian parents are among the best in Asia

    Despite the increasing reports on child abuse here,
    Indonesian parents are among the best in Asia,
    according to a recent survey on children's
    perceptions.

    The survey, which was organized by Reader's Digest
    magazine and involved 3,212 girls and boys in eight
    Asian countries (Indonesia, Hong Kong, the
    Philippines, Singapore, Thailand, Malaysia, South
    Korea and Taiwan), revealed that teens in Indonesia
    gave their mothers the highest mark of A in terms of
    care for their children.

    Indonesian fathers got a C in terms of care for their
    children, but were considered the 'coolest' in the
    region, according to the survey.

    Teens were asked to grade their parents style in 38
    different areas (A for excellent, B for good, C for
    average, D for below average, F for fail), from how
    well they showed affection and communicated, to their
    fashion sense, and how well -- or even if -- they
    talked to their teens about sex and drugs.

    However, the magazine, which will publish the survey's
    results in its July edition, did not mention the
    economic and social backgrounds of the girls and boys.

    According to the magazine, good communication between
    parents and children was the key behind the success of
    Indonesian parents, suggesting that other Asian
    parents could learn from it.

    Indonesian parents were considered able to talk with
    their children without losing their temper.

    Although proud of their parents, Indonesian teens
    claimed that their parents didn't help them do their
    homework or take much notice of what was going on at
    school, while still pushing them to succeed.

    The survey did not specify any reasons as to why
    Indonesian children respected their parents even
    though they do not really care about their schools.

    A. Junaidi, The Jakarta Post

    http://www.thejakartapost.com/detailfeatures.asp?fileid=20050717.E03&irec=2




    ____________________________

    Wednesday, July 13, 2005

    Penerapan Sistem Ekonomi Islam

    Carut-marutnya perekonomian di Indonesia seperti tidak pernah berkesudahan. Krisis ekonomi yang makin parah ini berdampak juga pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

    Secara global (mujmal) Alquran menyebutkan dengan 'iradh 'an dzikri (berpaling dari ketentuan-Ku), sebagaimana dinyatakan dalam Surah Thoha: 124, "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (sulit) dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta."

    Sebelumnya juga Rasulullah saw. memprediksi dalam sebuah hadis riwayat Imam Thabrani dari Ibnu Abbas, akan terjadinya berbagai krisis dalam kehidupan umat manusia yang sangat beraneka ragam apabila terdapat berbagai hal yang dilakukan sebelumnya, yaitu:

    Pertama, krisis kepribadian, yang ditandai dengan mudahnya orang bersumpah dan berjanji dan sangat mudah pula mengingkarinya. Krisis ini mengakibatkan dikuasainya kehidupan oleh orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya serta memusuhi orang-orang yang beriman. Mereka juga berusaha menguasai kekayaan dan sumber alam serta mata pencarian masyarakat tersebut.

    Kedua, krisis keimanan, yang ditandai dengan keengganan ber-tahkim kepada ketentuan Allah dan rasul-Nya, keengganan menjadikan Alquran dan sunah Rasul sebagai rujukan dalam penataan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapinya. Krisis ini mengakibatkan merajalelanya kefakiran dan kemiskinan, membubungnya harga-harga, dan hukum yang dijadikan permainan semata oleh orang-orang yang punya pengaruh besar dan berduit.

    Ketiga, krisis moral, yang tercermin dengan merajalelanya tempat-tempat prostitusi, praktek aborsi yang mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit kelamin yang mematikan.

    Keempat, gaya hidup materialistis, yang tercermin pada gejala berlomba-lombanya mencari dan menumpuk harta kekayaan tanpa memperhatikan cara mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara mendapatkannya. Gaya hidup ini ditandai keengganan berzakat, berinfak ataupun bersedekah hingga hilang rasa ukhuwah dan solidaritas kemanusiaan yang menonjol semangat individualistik dan kebatilan. Krisis dalam gaya hidup ini akan mengundang azab Allah swt. dalam bentuk musim kemarau yang panjang, kerusuhan di mana-mana, dan bencana alam lainnya.

    Karakter Ekonomi Islam

    Sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi, berkembang pula ilmu ekonomi yang melahirkan sistem-sistem ekonomi. Sampai pada Thomas Aquinas, kegiatan ekonomi masih diingatkan akan adanya bahaya bunga atau riba. Tetapi, setelah itu kegiatan ekonomi lebih banyak didominasi logika-logika manusia yang saling bertentangan, yang mengakibatkan makin melebarnya jurang antara si kaya dan miskin (akibat doktrin Adam Smith yang terkenal dengan istilah the invisible hand yang membiarkan berlakunya survival of the fittest) atau doktrin trade of A.W. Philips yang mengakibatkan pengangguran dan inflasi dan sebagainya.

    Demikian pula sistem ekonomi sosialis komunis yang didominasi perencanaan dan penguasaan alat-alat produksi secara terpusat oleh negara karena mengabaikan hak-hak individual ternyata juga tidak membawa kesejahteraan kepada umat manusia.

    Sebagai ajaran yang syaamil (mencakup) dan kaamil (sempurna) serta mutakaamil (saling melengkapi dan terkait yang berlandaskan pada wahyu Allah swt., tentu ajaran Islam mengandung pula ajaran yang berkaitan praktek-praktek ekonomi yang akan membawa pada kesejahteraan dan keselamatan hidup umat manusia (Q.S. 21: 107).

    Dalam terminologi syariat, ekonomi termasuk kelompok muamalah, dan muamalah termasuk pada bagian syariat yang terkait erat dengan akidah dan akhlak (Q.S. 14: 24--26). Atas dasar tersebut, kekhususan-kekhususan ekonomi Islam tereletak pada karakteristik dan wataknya yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme serta berbeda pula dengan sosialisme-komunisme.

    Secara umum, menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, karakteristis ekonomi Islam itu ada empat; ilahiah, akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan.

    Ilahiah, ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiah karena titik berangkatnya dari Allah swt., tujuannya mencari rida Allah, dan cara-caranya juga tidak bertentangan dengan syariat-Nya.

    Seorang muslim melakukan kegiatan produksi, di samping memenuhi hajat hidupnya, keluarga, dan masyarakatnya, juga karena melaksanakan perintah Allah swt. (Q.S. 67: 15). Ketika seorang muslim mengonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rezeki dan yang halal, ia merasa sedang melaksanakan perintah Allah (Q.S. 2: 168). Ia menikmatinya dalam batas kewajaran dan kesahajaan, sebagai bukti ketundukannya kepada perintah Allah (Q.S. 7: 31--32).

    Ketika berusaha, ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan riba dan menimbun barang, tidak akan berbuat lalim, tidak akan menipu, mencuri, korupsi, dan kolusi dan tidak pula melakukan praktek suap-menyuap (Q.S. 2: 188). Ketika memiliki harta, seorang muslim tidak akan menahannya karena kikir, tidak membelanjakan dengan cara boros; ia merasa hartanya itu merupakan amanah dari Allah swt. untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (Q.S. 24:33).

    Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan tujuan, melainkan semata-mata sarana yang lazim baginya mencapai tujuan yang lebih tinggi dan sarana penunjang dan pelayan bagi realisasi akidah dan syariatnya.

    Akhlak, kesatuan antara ekonomi dan akhlak ini akan makin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan produksi, konsumsi, distribusi, maupun kegiatan lainnya. Akhlak adalah landasan sekaligus bingkai bagi setiap aktivitas ekonomi. Jack Aster, pakar ekonomi Prancis, dalam bukunya, Islam dan Perkembangan Ekonomi, menyatakan Islam sebuah sistem hidup yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi.

    Kedua hal ini berkaitan erat, tidak pernah terpisah satu dengan yang lainnya. Dari sini bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan menerima sistem ekonomi kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan material dengan mengesampingkan hal-hal yang bersifat moral. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang mengambil kekuatan wahyu Allah di Alquran, dan karena itu pasti berakhlak. Akhlak ini mampu memberikan makna baru terhadap konsep nilai dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era industrialisasi.

    Kemanusiaan, ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan, artinya, ekonomi yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat kejiwaan. Manusia merupakan tujuan--antara kegiatan ekonomi dalam Islam, sekaligus merupakan sarana dan pelakunya, dan memanfaatkan ilmu yang diajarkan Allah swt. kepadanya dan anugerah serta kemampuan yang diberikan-Nya. Di antara nilai kemanusiaan yang sangat menonjol dalam segala aktivitas yang diperintahkan ajaran Islam--termasuk kegiatan ekonomi--adalah keadilan, persaudaraan, saling mencintai, saling membantu, dan tolong-menolong. Sebab itu, harta tidak boleh hanya dimiliki sekelompok orang kaya (Q.S. 59: 7). Adanya kesadaran pada setiap harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain (Q.S. 70: 24--25) yang tercermin dalam pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah yang dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya, yang pada umumnya adalah orang yang duafa dan fakir miskin (Q.S. 9:60).

    Pertengahan/keseimbangan, keseimbangan merupakan ruh dari ajaran Islam, sekaligus merupakan ruh pula bagi kegiatan perekonomian Islam. Misalnya, keseimbangan dalam pemilikan antara individu dan masyarakat (negara).

    Secara jujur diakui aplikasi ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi yang tersebut di atas masih memerlukan usaha dan kerja keras yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Mislanya, yang menyangkut penyadaran umat tentang perlunya kegiatan ekonomi yang berlandaskan ajaran Islam yang merupakan konsekuensi keimanan yang mengaharuskan aplikasi secara kafah (Q.S. 2: 208), demikian pula pemilikan SDM muslim yang andal, profesional, amanah, dan terpercaya, serta pemilikan lembaga ekonomi Islam seperti bank yang bebas dari riba.

    * Muhammad Taufik, Wartawan 'Lampung Post'

    LAMPUNG POST, Jum'at, 1 Juli 2005

    Thursday, July 07, 2005

    ......kata

    diambil sebuah kata yang sama sekali tak diketahui maknanya.
    disentuh bibir dirasa lidah dan dikunyah gigi.
    tak sedikitpun saripatinya keluar terasa dalam mulut.
    ditelan menembus tenggorokan melalui berbagai usus sampai jatuh kelambung.
    tak tercerna sedikitpun walu lambung terus bergetah.
    berlalu ke usus besar lalu bermuara ke rektum.
    tak sedikitpun ada yang hancur di mamah tubuh.
    itu utuh kembali.

    diambil kata yang sama lalu dibagi untukmu separuh.
    tersentuh di bibir berbagai ucapan yang tak diketahui makna sebelumnya.
    otak bekerja lebih ringan, karenahati lah yang terus mengolah kata itu
    hingga tercerna di dalam jantung lalu menyambung keseluruh saraf.

    sama sekali irrasional.
    kenapa harus di bagi dulu untuk mu baru terasa dan tercerna....
    apakah kat itu memang harus di bagi dulu sebagai prasyarat atau mahar...?
    entahlah...

    kata itu diketahui maknanya...
    di ambil lagi dan terus kubagikan khusus untukmu...

    indonesian human index

    Taruna Ikrar


    Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Raih Peringkat
    117Publikasi: 05/07/2005 16:23 WIB
    eramuslim - Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia
    2005 berada pada level 117 dari 175 negara yang
    mendapat penilaian dari lembaga kependudukan dunia,
    United Nations Development Programme (UNDP). Posisi
    Indonesia dalam hal IPM jauh lebih rendah dari
    Malaysia, Filipina bahkan Vietnam yang berada pada
    posisi 110.

    "IPM Indonesia tahun ini memang menurun dari tahun
    lalu yang berada pada posisi 111 dari 117 negara,"
    ujar Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana
    Nasional (BKKBN) ArjosoSoemarjati, di Jakarta, akhir
    pekan kemarin.

    Menurutnya, rendahnya kualitas manusia Indonesia
    dikarenakan masih kurangnya akses sebagian penduduk
    terhadap pendidikan dan kesehatan. Dari 215 jiwa
    penduduk Indonesia, sedikitnya 40 juta jiwa berada
    dalam kemiskinan.

    Dari segi pendidikan, berdasar hasil survey sosial
    ekonomi nasional 2003 tercatat hanya 36, 21% penduduk
    usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas,
    sementara 9,07 % penduduk masih berada buta huruf.

    Celakanya, lanjut Soemarjati, keadaan tersebut masih
    diperparah dengan kondisi sebagian besar perempuan
    Indonesia karena masih belum maksimalnya sosialisasi
    soal keadilan dan kesetaraan jender dalam berbagai
    bidang. "Dalam hal pendidikan dan budaya, misalnya,
    masih menempatkan sebagian besar perempuan Indonesia
    pada posisi marginal," sambunnya.

    Untuk itu, dikatakan Soamarjati, harus ada political
    will besar dari pemerintah dan masyarakat untuk
    sama-sama memperjuangkan hak dan kewajiban yang sama
    antara laki-laki dan perempuan. "Tanpa melupakan
    kodratnya sebagai wanita, perempuan berhak untuk maju
    bersama kaum pria," harapnya.

    IPM yang buruk ini ditandai dengan rendahnya mutu
    pendidikan, kasus gizi buruk, angka pengangguran yang
    meningkat, dan rendahnya pendapatan ekonomi
    masyarakat. (sdn/bkkbn)




    Candidate Doctor (Ph.D), at Departement of Cardiology
    Faculty of Medicine, Niigata University,
    Asahimachi 1-754, Niigata 51-8510,
    JAPAN
    Phone: +81-(25)-227-2183, Fax: +81-(25)-227-0774
    Research For Dissertation:
    "Gene Therapy of Arrhythmia Syndrome, Specification of Long QT Syndrome: Position of Gene I313K"

    Perbankan Nasional Dikuasai Asing (its all about the money....)

    Perbankan Nasional Dikuasai Asing
    Oleh H Darmansyah Asmoerie


    Kamis, 7 Juli 2005
    Konon, sebagai negeri maritim yang punya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Indonesia banyak ditiru negara lain. Salah satunya Swiss (Switzerland), negeri kecil di Eropa yang tak punya laut, ingin meniru Indonesia. Singkat cerita, Duta Besar Swiss pun diperintahkan oleh presidennya untuk menghadap Presiden Indonesia. Sang dubes memaparkan keinginan negaranya untuk membentuk Departemen Kelautan kepada presiden. Mendengar pemaparan Dubes Swis, Presiden RI pun bertanya, "Bukankah negara Anda tidak punya laut? Kenapa bersusah payah ingin membentuk Departemen Kelautan?" Tak dinyana, Dubes Swis menjawab pertanyaan Presiden Indonesia dengan cerdas. "Betul, Pak Presiden. Tapi bukankah Indonesia yang tak punya uang juga punya Departemen Keuangan?"

    Humor di atas memang jenaka dan bisa membuat orang tersenyum penuh pengertian. Faktanya, bagaimana mengaku punya uang jika utang Indonesia mencapai 150 miliar dolar lebih? Utang sebesar itu, artinya, sama dengan pernyataan yang aneh tapi nyata bahwa setiap bayi yang lahir di Indonesia (dengan asumsi jumlah penduduk 220 juta jiwa) sudah terbebani utang Rp 7 jutaan. Luar biasa bukan? Padahal uang Rp 7 juta bagi kebanyakan orang Indonesia nilainya amat besar.

    Ambil contoh, sebagian besar pedagang kaki lima yang menghidupi anak istrinya di Jakarta, total modalnya tak sampai Rp 7 juta. Dengan modal pas-pasan, sekitar Rp 2-3 juta, mereka survive dan bisa menghidupi anak-anaknya secara normal. Ini artinya, dengan memiliki modal awal Rp 7 juta, niscaya para pedagang kaki lima yang jumlahnya jutaan orang tak mungkin punya anak yang terkena busung lapar. Multiplier efect-nya juga akan luar bisa besar dari modal Rp 7 juta tadi. Mungkin seluruh angkatan kerja dengan pendidikan apapun tidak ada yang menganggur, minimal sebagai pelayan dagangan kaki lima tadi.

    Ilustrasi di atas amat menarik jika kita melihat persoalan perbankan Indonesia, yang merupakan penggerak perekonomian nasional. Kenapa menarik? Karena ternyata dunia perbankan Indonesia sekarang dikuasai pihak asing. Bayangkan, menurut riset Indef, per Maret 2005, jika bank-bank yang dimiliki pihak asing digabungkan, mereka ternyata menguasai 42,33 persen aset perbankan nasional. Nilai aset sebesar itu jauh melebihi aset bank-bank berstatus badan usaha milik negara (BUMN).

    Celakanya, dominasi pihak asing itu tak hanya dalam jumlah aset perbankan, tapi juga dalam penghimpunan dana masyarakat. Per Maret 2005, dana pihak ketiga (DPK) di Indonesia yang masuk ke kantong bank-bank milik asing mencapai 43,38 persen atau Rp 961,07 triliun. Padahal, pada saat yang sama, DPK yang masuk ke kantong bank-bank pelat merah hanya mencapai 37,94 persen atau Rp 840,54 triliun. Ini berarti selisih dana masyarakat yang disimpan bank milik asing dengan bank BUMN mencapai jumlah Rp 120,53 triliun. Sebuah jumlah yang cukup besar.

    Apa arti penguasaan aset perbankan oleh pihak asing, sementara utang negara kepada pihak asing amat besar? Jika Bung Karno masih hidup, niscaya dia akan menggebrak: itulah penjajahan gaya baru, neokolonialisme, yang harus dienyahkan dari bumi Pertiwi. Sayang, Bung Karno telah tiada. Dari rezim ke rezim, aset negara telah diperjual-belikan atas nama liberalisasi perdagangan. Kita masih ingat ketika Indosat dijual negara ke perusahaan Singtel Singapura. Padahal Indosat -- perusahaan telekomonikasi yang punya Palapa, satelit kebanggaan bangsa -- jelas-jelas sehat dan menguntungkan. Mengapa Indosat yang dijual, bukan anak perusahaannya?

    Begitu pula ketika bank-bank papan atas satu demi satu dijual ke pihak asing seperti BCA, Bank Niaga, dan Danamon dengan harga amat murah. Ironisnya pula, dalam waktu dekat, BCA akan menjadi anchor bagi dunia perbankan Indonesia. Mau ditaruh di mana rasa nasionalisme bangsa ini jika yang jadi anchor dunia perbankan justru bank yang pemiliknya perusahaan asing?

    Terus terang, kita bukan bangsa yang xenofobia. Sikap xenofobia sudah bukan zamannya lagi. Dunia sudah terbuka lebar dan uang tak mempunyai tanah air. Namun demikian, ekspos kasus penguasaan perbankan nasional oleh pihak asing ke permukaan tetap perlu untuk mengingatkan bahwa dunia perbankan di suatu negara punya misi untuk meningkatkan perekonomian negara tempat bank berdomisili. Apa yang terjadi di Indonesia, ternyata bank-bank milik asing tadi "belum" (kalau tak mau dikatakan tidak) punya komitmen kuat untuk mengangkat perekonomian nasional.

    Faktanya, mereka lebih banyak mengucurkan kredit konsumsi ketimbang kredit korporasi. Bank Danamon, misalnya, sepanjang tahun 2004 mengucurkan kredit konsumsi Rp 4,12 triliun, jauh lebih banyak ketimbang kucuran kredit untuk korporasi, usaha menengah, usaha mikro dan modal kerja investasi. Bank-bank milik asing pun telah menyeret bank-bank lain untuk melakukan hal sama, sehingga kredit konsumsi kini menjadi tren perbankan nasional. Hal ini bisa kita lihat dari tren pertumbuhan kredit konsumsi, yang per Maret 2005 saja, mencapai 54,25 persen. Fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena bank-bank nasional telah melenceng dari misi utamanya. Apalah arti dunia perbankan kalau keberadaannya tidak menjadi pendorong dunia usaha?

    Kalau kredit konsumsi dibiarkan terus tanpa batas, lalu apa pula bedanya bank dengan tukang kredit yang menawarkan barang-barang konsumsi dari rumah ke rumah? Padahal, misi perbankan jauh lebih besar dari itu, yaitu mengembangkan dunia usaha untuk meningkakan perekonomian suatu negara. Nah, kalau kredit konsumsi yang berkembang -- yang terjadi -- adalah sebaliknya. Masyarakat lebih suka jadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Jika hal itu terjadi, negara akan bangkrut pelan-pelan karena akan tergilas pasar.

    Melihat fenomena seperti itulah, sebaiknya otoritas moneter mulai membenahi berbagai peraturan perbankan untuk menghindari kasus malfungsi bank-bank di atas. Di Korea Selatan, misalnya, otoritas meneter mempersilahkan bank-bank asing berdiri di Seoul. Tapi syaratnya, mereka harus menempatkan 25 persen portfolio kreditnya untuk kelompok usaha kecil dan menengah. Nah, beranikah otoritas moneter melakukah hal-hal seperti itu? Lagi-lagi, persoalan tersebut tergantung pada sikap dan rasa nasionalisme kita untuk mengangkat nasib bangsa.

    Melihat gambaran tersebut, kita jadi ingat cerita John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004). Perkins mengaku bahwa selama 30 tahun ia menjadi "ekonom pembunuh bayaran" di NSA (National Security Agency), AS. Tugas Perkins adalah menganalisis bagaimana caranya menghancurkan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin. Salah satu caranya, meminjamkan uang miliaran dolar kepada negara-negara tertentu sehingga mereka tak mampu membayarnya. Jika sudah demikian, baru kemudian negara-negara tersebut diperas ekonominya.

    Cerita Perkins itu tampaknya pas sekali dengan perjalanan Indonesia. Di zaman Orde Baru, Indonesia mendapatkan pinjaman yang luar biasa besar dari negara-negara donor yang didikte AS melalui IMF, Bank Dunia, IGGI (CGI), dan lembaga keuangan internasional (Barat) yang lain. Ternyata, pinjaman tersebut akhirnya membelenggu Indonesia sendiri karena tak mampu membayarnya. Dari sanalah, lalu masuk konsep perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi. Dalam kondisi Indonesia yang sesungguhnya "tak mampu bayar utang" dan ekonomi terjepit, negara-negara besar itu menekan agar Indonesia menjual aset-asetnya yang bagus. Maka melayanglah aset-aset negara yang strategis seperti Indosat dan perbankan nasional.

    Skenario pemiskinan suatu negara seperti yang diungkapkan Perkins kemudian benar-benar terjadi. Hasilnya, ya begitu deh, Indonesia kini terjebak dalam ketergantungan ekonomi. Indonesia yang kaya sumber alam "dikibuli" dan hidup dari utang luar negeri tanpa bisa mengembangkan kemampuannya sendiri. Tragis memang. Celakanya, kondisi seperti itu tampaknya akan terus berjalan seiring dengan makin banyaknya aset-aset strategis negara yang berpindah tangan ke pihak asing. Walhasil, tepat sekali bila sejumlah LSM di Indonesia dalam demonya beberapa waktu lalu membikin poster bertuliskan "Sale Indonesia!" ***

    (Penulis peneliti ekonomi dan sosial
    di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta).

    http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=114318