Thursday, July 07, 2005

Perbankan Nasional Dikuasai Asing (its all about the money....)

Perbankan Nasional Dikuasai Asing
Oleh H Darmansyah Asmoerie


Kamis, 7 Juli 2005
Konon, sebagai negeri maritim yang punya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Indonesia banyak ditiru negara lain. Salah satunya Swiss (Switzerland), negeri kecil di Eropa yang tak punya laut, ingin meniru Indonesia. Singkat cerita, Duta Besar Swiss pun diperintahkan oleh presidennya untuk menghadap Presiden Indonesia. Sang dubes memaparkan keinginan negaranya untuk membentuk Departemen Kelautan kepada presiden. Mendengar pemaparan Dubes Swis, Presiden RI pun bertanya, "Bukankah negara Anda tidak punya laut? Kenapa bersusah payah ingin membentuk Departemen Kelautan?" Tak dinyana, Dubes Swis menjawab pertanyaan Presiden Indonesia dengan cerdas. "Betul, Pak Presiden. Tapi bukankah Indonesia yang tak punya uang juga punya Departemen Keuangan?"

Humor di atas memang jenaka dan bisa membuat orang tersenyum penuh pengertian. Faktanya, bagaimana mengaku punya uang jika utang Indonesia mencapai 150 miliar dolar lebih? Utang sebesar itu, artinya, sama dengan pernyataan yang aneh tapi nyata bahwa setiap bayi yang lahir di Indonesia (dengan asumsi jumlah penduduk 220 juta jiwa) sudah terbebani utang Rp 7 jutaan. Luar biasa bukan? Padahal uang Rp 7 juta bagi kebanyakan orang Indonesia nilainya amat besar.

Ambil contoh, sebagian besar pedagang kaki lima yang menghidupi anak istrinya di Jakarta, total modalnya tak sampai Rp 7 juta. Dengan modal pas-pasan, sekitar Rp 2-3 juta, mereka survive dan bisa menghidupi anak-anaknya secara normal. Ini artinya, dengan memiliki modal awal Rp 7 juta, niscaya para pedagang kaki lima yang jumlahnya jutaan orang tak mungkin punya anak yang terkena busung lapar. Multiplier efect-nya juga akan luar bisa besar dari modal Rp 7 juta tadi. Mungkin seluruh angkatan kerja dengan pendidikan apapun tidak ada yang menganggur, minimal sebagai pelayan dagangan kaki lima tadi.

Ilustrasi di atas amat menarik jika kita melihat persoalan perbankan Indonesia, yang merupakan penggerak perekonomian nasional. Kenapa menarik? Karena ternyata dunia perbankan Indonesia sekarang dikuasai pihak asing. Bayangkan, menurut riset Indef, per Maret 2005, jika bank-bank yang dimiliki pihak asing digabungkan, mereka ternyata menguasai 42,33 persen aset perbankan nasional. Nilai aset sebesar itu jauh melebihi aset bank-bank berstatus badan usaha milik negara (BUMN).

Celakanya, dominasi pihak asing itu tak hanya dalam jumlah aset perbankan, tapi juga dalam penghimpunan dana masyarakat. Per Maret 2005, dana pihak ketiga (DPK) di Indonesia yang masuk ke kantong bank-bank milik asing mencapai 43,38 persen atau Rp 961,07 triliun. Padahal, pada saat yang sama, DPK yang masuk ke kantong bank-bank pelat merah hanya mencapai 37,94 persen atau Rp 840,54 triliun. Ini berarti selisih dana masyarakat yang disimpan bank milik asing dengan bank BUMN mencapai jumlah Rp 120,53 triliun. Sebuah jumlah yang cukup besar.

Apa arti penguasaan aset perbankan oleh pihak asing, sementara utang negara kepada pihak asing amat besar? Jika Bung Karno masih hidup, niscaya dia akan menggebrak: itulah penjajahan gaya baru, neokolonialisme, yang harus dienyahkan dari bumi Pertiwi. Sayang, Bung Karno telah tiada. Dari rezim ke rezim, aset negara telah diperjual-belikan atas nama liberalisasi perdagangan. Kita masih ingat ketika Indosat dijual negara ke perusahaan Singtel Singapura. Padahal Indosat -- perusahaan telekomonikasi yang punya Palapa, satelit kebanggaan bangsa -- jelas-jelas sehat dan menguntungkan. Mengapa Indosat yang dijual, bukan anak perusahaannya?

Begitu pula ketika bank-bank papan atas satu demi satu dijual ke pihak asing seperti BCA, Bank Niaga, dan Danamon dengan harga amat murah. Ironisnya pula, dalam waktu dekat, BCA akan menjadi anchor bagi dunia perbankan Indonesia. Mau ditaruh di mana rasa nasionalisme bangsa ini jika yang jadi anchor dunia perbankan justru bank yang pemiliknya perusahaan asing?

Terus terang, kita bukan bangsa yang xenofobia. Sikap xenofobia sudah bukan zamannya lagi. Dunia sudah terbuka lebar dan uang tak mempunyai tanah air. Namun demikian, ekspos kasus penguasaan perbankan nasional oleh pihak asing ke permukaan tetap perlu untuk mengingatkan bahwa dunia perbankan di suatu negara punya misi untuk meningkatkan perekonomian negara tempat bank berdomisili. Apa yang terjadi di Indonesia, ternyata bank-bank milik asing tadi "belum" (kalau tak mau dikatakan tidak) punya komitmen kuat untuk mengangkat perekonomian nasional.

Faktanya, mereka lebih banyak mengucurkan kredit konsumsi ketimbang kredit korporasi. Bank Danamon, misalnya, sepanjang tahun 2004 mengucurkan kredit konsumsi Rp 4,12 triliun, jauh lebih banyak ketimbang kucuran kredit untuk korporasi, usaha menengah, usaha mikro dan modal kerja investasi. Bank-bank milik asing pun telah menyeret bank-bank lain untuk melakukan hal sama, sehingga kredit konsumsi kini menjadi tren perbankan nasional. Hal ini bisa kita lihat dari tren pertumbuhan kredit konsumsi, yang per Maret 2005 saja, mencapai 54,25 persen. Fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena bank-bank nasional telah melenceng dari misi utamanya. Apalah arti dunia perbankan kalau keberadaannya tidak menjadi pendorong dunia usaha?

Kalau kredit konsumsi dibiarkan terus tanpa batas, lalu apa pula bedanya bank dengan tukang kredit yang menawarkan barang-barang konsumsi dari rumah ke rumah? Padahal, misi perbankan jauh lebih besar dari itu, yaitu mengembangkan dunia usaha untuk meningkakan perekonomian suatu negara. Nah, kalau kredit konsumsi yang berkembang -- yang terjadi -- adalah sebaliknya. Masyarakat lebih suka jadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Jika hal itu terjadi, negara akan bangkrut pelan-pelan karena akan tergilas pasar.

Melihat fenomena seperti itulah, sebaiknya otoritas moneter mulai membenahi berbagai peraturan perbankan untuk menghindari kasus malfungsi bank-bank di atas. Di Korea Selatan, misalnya, otoritas meneter mempersilahkan bank-bank asing berdiri di Seoul. Tapi syaratnya, mereka harus menempatkan 25 persen portfolio kreditnya untuk kelompok usaha kecil dan menengah. Nah, beranikah otoritas moneter melakukah hal-hal seperti itu? Lagi-lagi, persoalan tersebut tergantung pada sikap dan rasa nasionalisme kita untuk mengangkat nasib bangsa.

Melihat gambaran tersebut, kita jadi ingat cerita John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004). Perkins mengaku bahwa selama 30 tahun ia menjadi "ekonom pembunuh bayaran" di NSA (National Security Agency), AS. Tugas Perkins adalah menganalisis bagaimana caranya menghancurkan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin. Salah satu caranya, meminjamkan uang miliaran dolar kepada negara-negara tertentu sehingga mereka tak mampu membayarnya. Jika sudah demikian, baru kemudian negara-negara tersebut diperas ekonominya.

Cerita Perkins itu tampaknya pas sekali dengan perjalanan Indonesia. Di zaman Orde Baru, Indonesia mendapatkan pinjaman yang luar biasa besar dari negara-negara donor yang didikte AS melalui IMF, Bank Dunia, IGGI (CGI), dan lembaga keuangan internasional (Barat) yang lain. Ternyata, pinjaman tersebut akhirnya membelenggu Indonesia sendiri karena tak mampu membayarnya. Dari sanalah, lalu masuk konsep perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi. Dalam kondisi Indonesia yang sesungguhnya "tak mampu bayar utang" dan ekonomi terjepit, negara-negara besar itu menekan agar Indonesia menjual aset-asetnya yang bagus. Maka melayanglah aset-aset negara yang strategis seperti Indosat dan perbankan nasional.

Skenario pemiskinan suatu negara seperti yang diungkapkan Perkins kemudian benar-benar terjadi. Hasilnya, ya begitu deh, Indonesia kini terjebak dalam ketergantungan ekonomi. Indonesia yang kaya sumber alam "dikibuli" dan hidup dari utang luar negeri tanpa bisa mengembangkan kemampuannya sendiri. Tragis memang. Celakanya, kondisi seperti itu tampaknya akan terus berjalan seiring dengan makin banyaknya aset-aset strategis negara yang berpindah tangan ke pihak asing. Walhasil, tepat sekali bila sejumlah LSM di Indonesia dalam demonya beberapa waktu lalu membikin poster bertuliskan "Sale Indonesia!" ***

(Penulis peneliti ekonomi dan sosial
di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta).

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=114318

No comments: