Carut-marutnya perekonomian di Indonesia seperti tidak pernah berkesudahan. Krisis ekonomi yang makin parah ini berdampak juga pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Secara global (mujmal) Alquran menyebutkan dengan 'iradh 'an dzikri (berpaling dari ketentuan-Ku), sebagaimana dinyatakan dalam Surah Thoha: 124, "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (sulit) dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Sebelumnya juga Rasulullah saw. memprediksi dalam sebuah hadis riwayat Imam Thabrani dari Ibnu Abbas, akan terjadinya berbagai krisis dalam kehidupan umat manusia yang sangat beraneka ragam apabila terdapat berbagai hal yang dilakukan sebelumnya, yaitu:
Pertama, krisis kepribadian, yang ditandai dengan mudahnya orang bersumpah dan berjanji dan sangat mudah pula mengingkarinya. Krisis ini mengakibatkan dikuasainya kehidupan oleh orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya serta memusuhi orang-orang yang beriman. Mereka juga berusaha menguasai kekayaan dan sumber alam serta mata pencarian masyarakat tersebut.
Kedua, krisis keimanan, yang ditandai dengan keengganan ber-tahkim kepada ketentuan Allah dan rasul-Nya, keengganan menjadikan Alquran dan sunah Rasul sebagai rujukan dalam penataan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapinya. Krisis ini mengakibatkan merajalelanya kefakiran dan kemiskinan, membubungnya harga-harga, dan hukum yang dijadikan permainan semata oleh orang-orang yang punya pengaruh besar dan berduit.
Ketiga, krisis moral, yang tercermin dengan merajalelanya tempat-tempat prostitusi, praktek aborsi yang mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit kelamin yang mematikan.
Keempat, gaya hidup materialistis, yang tercermin pada gejala berlomba-lombanya mencari dan menumpuk harta kekayaan tanpa memperhatikan cara mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara mendapatkannya. Gaya hidup ini ditandai keengganan berzakat, berinfak ataupun bersedekah hingga hilang rasa ukhuwah dan solidaritas kemanusiaan yang menonjol semangat individualistik dan kebatilan. Krisis dalam gaya hidup ini akan mengundang azab Allah swt. dalam bentuk musim kemarau yang panjang, kerusuhan di mana-mana, dan bencana alam lainnya.
Karakter Ekonomi Islam
Sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi, berkembang pula ilmu ekonomi yang melahirkan sistem-sistem ekonomi. Sampai pada Thomas Aquinas, kegiatan ekonomi masih diingatkan akan adanya bahaya bunga atau riba. Tetapi, setelah itu kegiatan ekonomi lebih banyak didominasi logika-logika manusia yang saling bertentangan, yang mengakibatkan makin melebarnya jurang antara si kaya dan miskin (akibat doktrin Adam Smith yang terkenal dengan istilah the invisible hand yang membiarkan berlakunya survival of the fittest) atau doktrin trade of A.W. Philips yang mengakibatkan pengangguran dan inflasi dan sebagainya.
Demikian pula sistem ekonomi sosialis komunis yang didominasi perencanaan dan penguasaan alat-alat produksi secara terpusat oleh negara karena mengabaikan hak-hak individual ternyata juga tidak membawa kesejahteraan kepada umat manusia.
Sebagai ajaran yang syaamil (mencakup) dan kaamil (sempurna) serta mutakaamil (saling melengkapi dan terkait yang berlandaskan pada wahyu Allah swt., tentu ajaran Islam mengandung pula ajaran yang berkaitan praktek-praktek ekonomi yang akan membawa pada kesejahteraan dan keselamatan hidup umat manusia (Q.S. 21: 107).
Dalam terminologi syariat, ekonomi termasuk kelompok muamalah, dan muamalah termasuk pada bagian syariat yang terkait erat dengan akidah dan akhlak (Q.S. 14: 24--26). Atas dasar tersebut, kekhususan-kekhususan ekonomi Islam tereletak pada karakteristik dan wataknya yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme serta berbeda pula dengan sosialisme-komunisme.
Secara umum, menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, karakteristis ekonomi Islam itu ada empat; ilahiah, akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan.
Ilahiah, ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiah karena titik berangkatnya dari Allah swt., tujuannya mencari rida Allah, dan cara-caranya juga tidak bertentangan dengan syariat-Nya.
Seorang muslim melakukan kegiatan produksi, di samping memenuhi hajat hidupnya, keluarga, dan masyarakatnya, juga karena melaksanakan perintah Allah swt. (Q.S. 67: 15). Ketika seorang muslim mengonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rezeki dan yang halal, ia merasa sedang melaksanakan perintah Allah (Q.S. 2: 168). Ia menikmatinya dalam batas kewajaran dan kesahajaan, sebagai bukti ketundukannya kepada perintah Allah (Q.S. 7: 31--32).
Ketika berusaha, ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan riba dan menimbun barang, tidak akan berbuat lalim, tidak akan menipu, mencuri, korupsi, dan kolusi dan tidak pula melakukan praktek suap-menyuap (Q.S. 2: 188). Ketika memiliki harta, seorang muslim tidak akan menahannya karena kikir, tidak membelanjakan dengan cara boros; ia merasa hartanya itu merupakan amanah dari Allah swt. untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (Q.S. 24:33).
Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan tujuan, melainkan semata-mata sarana yang lazim baginya mencapai tujuan yang lebih tinggi dan sarana penunjang dan pelayan bagi realisasi akidah dan syariatnya.
Akhlak, kesatuan antara ekonomi dan akhlak ini akan makin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan produksi, konsumsi, distribusi, maupun kegiatan lainnya. Akhlak adalah landasan sekaligus bingkai bagi setiap aktivitas ekonomi. Jack Aster, pakar ekonomi Prancis, dalam bukunya, Islam dan Perkembangan Ekonomi, menyatakan Islam sebuah sistem hidup yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi.
Kedua hal ini berkaitan erat, tidak pernah terpisah satu dengan yang lainnya. Dari sini bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan menerima sistem ekonomi kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan material dengan mengesampingkan hal-hal yang bersifat moral. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang mengambil kekuatan wahyu Allah di Alquran, dan karena itu pasti berakhlak. Akhlak ini mampu memberikan makna baru terhadap konsep nilai dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era industrialisasi.
Kemanusiaan, ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan, artinya, ekonomi yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat kejiwaan. Manusia merupakan tujuan--antara kegiatan ekonomi dalam Islam, sekaligus merupakan sarana dan pelakunya, dan memanfaatkan ilmu yang diajarkan Allah swt. kepadanya dan anugerah serta kemampuan yang diberikan-Nya. Di antara nilai kemanusiaan yang sangat menonjol dalam segala aktivitas yang diperintahkan ajaran Islam--termasuk kegiatan ekonomi--adalah keadilan, persaudaraan, saling mencintai, saling membantu, dan tolong-menolong. Sebab itu, harta tidak boleh hanya dimiliki sekelompok orang kaya (Q.S. 59: 7). Adanya kesadaran pada setiap harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain (Q.S. 70: 24--25) yang tercermin dalam pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah yang dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya, yang pada umumnya adalah orang yang duafa dan fakir miskin (Q.S. 9:60).
Pertengahan/keseimbangan, keseimbangan merupakan ruh dari ajaran Islam, sekaligus merupakan ruh pula bagi kegiatan perekonomian Islam. Misalnya, keseimbangan dalam pemilikan antara individu dan masyarakat (negara).
Secara jujur diakui aplikasi ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi yang tersebut di atas masih memerlukan usaha dan kerja keras yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Mislanya, yang menyangkut penyadaran umat tentang perlunya kegiatan ekonomi yang berlandaskan ajaran Islam yang merupakan konsekuensi keimanan yang mengaharuskan aplikasi secara kafah (Q.S. 2: 208), demikian pula pemilikan SDM muslim yang andal, profesional, amanah, dan terpercaya, serta pemilikan lembaga ekonomi Islam seperti bank yang bebas dari riba.
* Muhammad Taufik, Wartawan 'Lampung Post'
LAMPUNG POST, Jum'at, 1 Juli 2005
No comments:
Post a Comment