Republika
Rabu, 27 April 2005
Korupsi? Ah, Lelucon ...
Ini humor dari seorang teman: Pada satu masa dan di suatu tempat, terdapat banyak kipas angin dalam berbagai ukuran. Besar dan kecepatan putaran kipas angin itu menggambarkan tingkat korupsi di suatu negara. Semakin besar dan cepat kipasnya berputar, semakin luar biasa praktik korupsi terjadi. Di situ, ada puluhan kipas angin dari negara-negara yang tercatat sebagai negara terkorup. Kipas angin Indonesia justru tidak ada. Setelah diusut, ternyata kipas angin Indonesia jauh lebih bermanfaat untuk dijadikan baling-baling helikopter: Sangat besar dan sangat cepat putarannya.Banyak humor tentang korupsi di Indonesia. Pada tahun 70-an, ada sindiran terhadap tersebarnya harta-harta milik Pertamina. Ketika itu disebutkan, apabila satu batu dijatuhkan dari pesawat terbang, maka pastilah jatuh di tanah milik Pertamina. Kini muncul pula sindiran: Jatuhkan tiga batu dari pesawat udara, maka yakinlah dua di antaranya mengenai kepala koruptor.Korupsi di Indonesia tidak lagi suatu keprihatinan, tapi menjadi lelucon. Korupsi Rp 50 juta tak lagi jadi gunjingan. Bahkan, nilainya pun dianggap ''hanya Rp 50 juta''. Ketika pengadilan menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi senilai itu, sebagian publik menyatakan: Hanya Rp 50 juta saja dihukum.Kini, nilai yang dapat dianggap sungguh-sungguh melakukan korupsi apabila angkanya mencapai ratusan juta rupiah hingga triliunan rupiah. Di bawah angka itu, seorang pejabat negara atau pengusaha yang tertangkap dan terbukti melakukan korupsi, dianggap sebagai pejabat dan pengusaha yang apes, tidak taktis, dan bodoh. Seorang teman entah serius atau bercanda menceritakan, ketika akan menjadi calon anggota legislatif, dia membuat laporan kekayaan dengan nilai yang sangat besar, jauh melebihi harta yang dimilikinya. Alasannya, apabila terpilih menjadi anggota legislatif, maka tidak ada kecurigaan ia korupsi. Nilai harta yang didaftarkan pada akhir masa tugasnya, akan sama atau lebih sedikit dari nilai harta saat ia melaporkan kekayaannya semula. Saat menceritakan perilaku itu, tidak ada kesan bahwa dia telah melakukan kejahatan. Sesuatu yang wajar dan jangan-jangan dia menganggap sebagai suatu keunggulan. Kita pun, mungkin, mendengar cerita itu sebagai sesuatu yang wajar dan kemudian tertawa bersama.
Badan Pemeriksa Keuangan lembaga yang belakangan ini disebut-sebut di dalamnya ada auditor putih, abu-abu, dan hitam pada 1999 hingga 2003, menemukan 22 kasus berindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Nilai nominalnya: Rp 166,5 triliun dan 62,7 juta dolar AS. Jumlah itu hampir sama dengan setengah APBN 2003. Temuan BPK itu telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mohon tidak ditanya tindak lanjut temuan BPK itu, karena hingga kini jumlah koruptor yang dipenjara dapat dihitung tanpa kalkulator.
Di negera ini, di negeri nyiur melambai-lambai, angin semilir, untaian jamrud mutu manikam, rakyat hidup damai, santun, dan taat beribadah, adalah surga yang tiada taranya bagi koruptor. Mereka bisa mendapatkan apa saja, melahap apa saja dari tanah, hutan, air, udara, hingga anak dan cucunya-- tanpa khawatir terhadap apa pun, termasuk pada Allah. Di negeri ini, bagi banyak orang pilihannya begitu sempit: Menjadi koruptor dan terhormat atau miskin, bodoh, dan terhina. Jadi, tertawalah karena korupsi telah bergeser dari kejahatan menjadi lelucon. Banyak orang dalam panggung pertunjukan yang sangat luas itu, menikmati tanpa henti sebagai sesuatu yang indah, terhormat, dan tak pernah menjemukan. Mereka tak sadar, sesungguhnya sedang melahap harta anak dan cucunya.