Tuesday, August 02, 2005

APA SEBAB NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA? (I)



BUNG KARNO:

Amanat di Depan Kongres Rakyat Jawa Timur Tanggal 24 September 1955
Di Surabaya

Saudara -saudaraku sekalian,

Saya adalah orang Islam, dan saya adalah keluarga Negara Republik
Indonesia.

Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam Islam kepada Saudara-
saudara sekalian: Assalamu 'alaikum wr. wb!

Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada
Saudara-saudara sekalian -- baik yang beragama Islam, baik yang
beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain -- kepada
Saudara­saudara sekalian saya menyampaikan salam
nasional: "Merdeka!"

Tahukah Saudara-saudara arti perkataan "salam" sebagai bagian dari
perkataan assalamu 'alaikum wr.. wb? Salam artinya damai, sejahtera.
Jikalau kita menyebutkan assalamu 'alaikum wr. wb, berarti damai dan
sejahteralah sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah
jatuh kepadamu. Salam berarti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu
saya minta kepada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan
arti perkataan assalamu' alaikum.

Salam -- damai -- sejahtera! Marilah kita bangsa Indonesia -­-
terutama sekalian yang beragama Islam -- hidup damai dan sejahtera
satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai
memba­hayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai
gerombolan­-gerombolan yang menyebutkan assalamu 'alaikum, akan
tetapi membakar rumah-rumah rakyat.

Salam -- damai! Damai -- sejahtera! Rukun -- bersatu! Terutama
sekali di dalam revolusi nasional kita belum selesai ini.

Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan
pekik "Merdeka!" bersama-sama dengan kamu. Kamu yang ber-agama
Islam,kamu yang beragama Kristen, kamu yang beragama Syiwa Budha,

Hindu-Bali atau agama lain. Pekik "Merdeka!" adalah pekik yang
membuat rakyat Indonesia itu -- walau-punjumlahnya 80 juta –
menjadi : bersatu tekad, memenuhi sumpahnya, "Sekali merdeka, tetap
merdeka!".

Pekik "Merdeka!", Saudara-saudara, adalah "pekik pengikat". Dan
bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan dari bangsa
yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme, dengan
tiada ikatan penjajahan sedikit pun. Maka oleh karena itu, Saudara-
saudara, ­terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang
ini -- fase revolusi nasional yang belum selesai -- jangan lupa
kepada pekik Merdeka! Tiap-­tiap kali kita berjumpa satu sama
lain, pekikkanlah pekik "Merdeka!".

Tatkala aku mengadakan perjalanan ke Tanah Suci beberapa pekan yang
lalu, aku telah diminta oleh khalayak Indonesia di kota Singapura
untuk mengadakan amanat kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di
Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka
bergembira, bahwa Presiden Republik-nya lewat di Singapura. Mereka
menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-
gempita, dan minta kepada Presiden Republik Indonesia untuk
memberikan amanat kepadanya. Di dalam amanat itu beberapa kali
dipekikkan pekik "Merdeka!"

Apa lacur? Sesudah Bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok, ke
Rangoon, ke New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke negara

Saudi Arabia -- sesudah Bapak meninggalkan kota Singapura -- geger
pers imperialisme Singapura, Saudara-saudara. Mereka
berkata:"Presiden Sukarno kurang ajar". Presiden Sukarno menjalanka
Ill behaviour, katanya. Ill-behaviour itu artinya tidak tahu
kesopanan. Apa sebab pers imperialisme mengatakan Bapak menjalankan
ill behaviour, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini
bukan negeri merdeka -- toh tahu, bahwa di sini masih di dalam
kekuasaan asing -- kok memekikkan pekik "Merdeka"?

Tatkala Bapak kembali dari Tanah Suci, singgah lagi di Singapura, --
Bapak dikeroyok oleh wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada
Bapak: "Tahukah Paduka Yang Mulia Presiden bahwa tatkala PYM
Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir
dan Tanah Suci, PYM dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-
behaviour, oleh karena PYM memekikkan pekik Merdeka dan mengajarkan
kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan pekik Merdeka? Apa jawab
PYM atas tuduhan itu?"

Bapak menjawab: "Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang
Indonesia, warga negara Republik Indonesia, berjumpa dengan warga
negara Republik Indonesia -- pendek kata jikalau orang Indonesia
bertemu dengan orang Indonesia -- selalu memekikkan pekik "Merdeka"!
Jangankan di sorga, di dalam neraka -pun!"

Nah, Saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan
pekik Merdeka itu. Gegap-gempitakan tiap-tiap kali pekik Merdeka
itu. Apalagi -- sebagai Bapak katakan tadi -- dalam fase revolusi
nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia
yang beragama Islam, aku menyampaikan kepadamu
salam "assalamu 'alaikum!" Sebagai warga negara Republik Indonesia
aku menyampaikan kepadamu "Merdeka!"

Saudara-saudara, aku pulang dari Bali -- beristirahat beberapa hari
di sana. Diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam
memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanat, terutama sekali yang
mengenai hal, "Apa sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan
kepada Pancasila?" Dan memberikan penerangan tentang hal Panca
Dharma.

Tadi, tatkala aku baru masuk gèdung Gubernuran ini, hati kurang
puas? Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka
oleh karena itulah, Saudara-saudaraku dan anak--anakku sekalian,
maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya Saudara-saudara diberi
izin lebih dekat. Sebab Saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini --
isi hati Presiden, isi hati Bung Karno -- kalau jauh dari rakyat
rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya
laksana Kokrosono turun dari perta-paannya ...

Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada Saudara-
saudara, insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku
berpidato di sini bukan sekadar sebagai Sukarno. Bukan sekadar
sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno.-- Aku berpidato
di sini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden
Republik Indonesia aku diminta untuk memberi penjelasan tentang
Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas
Pancasila?

Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah
kuanjurkan dengan resmi pula di dalam pidato Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dan permintaan

itu, insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik
lndonesia. Justru oleh karena pada saat sekarang ini saya sebagai
Presiden Republik lndonesia, maka dengan gembira dan senang hati
saya memenuhi permintaan untuk memberi penjelasan tentang Pancasila.

Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden
Republik lndonesia disumpah atas Undang-Undang Dasar kita. Saya tadi
berkata, bahwa saya memenuhi permintaan Kongres Rakyat Jawa Timur
dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai
Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang Dasar kita.
Disumpah harus setia kepada Undang-Undang Dasar kita. Di dalam
Undang-Undang Dasar kita, dicantumkan satu Mukaddimah, kata
pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu dengan tegas
disebutkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan lndonesia
yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.

Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan di dalam Undang-
Undang Dasar kita. Sejak kita di dalam tahun 1945 telah berkemas-
kemas untuk menjadi satu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah
mengalami empat kali naskah.

Sebelum mengadakan Proklamasi 17 Agustus, sudah ada satu naskah.
Kemudian pada 17 Agustus 1945, satu naskah lagi. Kemudian tatkala
RIS dibentuk, satu naskah lagi. Kemudian sesudah itu -- tatkala kita
kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan -- satu naskah
lagi. Empat kali naskah, Saudara-saudara. Dan di dalam ke-empat
naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.

Pertama, tatkala kita di dalam zaman Jepang, kita telah
berkemas­kemas di dalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang
merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang di-namakan
Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter itu telah disebutkan
dengan tegas lima asas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk
negara yang akan datang: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan.
Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.

Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita
pada 17 Agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya. Saudara-
saudara, kukatakan Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini --yaitu
Undang-Undang Dasar yang kita rencanakan pada waktu zaman Jepang di
bawah ancaman bayonet Jepang -- kita rencanakan satu Undang-Undang
Dasar dari Negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Dan di dalam Undang­Undang Dasar itu
dengan tegas dikatakan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial!.

Tatkala -- berhubung dengan jalannya politik -- Negara Republik
Indonesia Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibuatlah
Undang­Undang Dasar RIS. Dan di dalam Mukaddimah Undang- Undang
Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.

Kita tidak senang akan federal-federalan. Segenap rakyat
mem­protes akan adanya susunan federal iui. Delapan bulan
susunan RIS berdiri, hancur-lebur RIS, berdirilah Negara Republik
Indonesia Kesatuan. Dan Undang-Undang Dasar yang dipakai RIS ini
diubah lagi menjadi Undang-Undang Dasar Sementara dari Negara Re-
publik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi Mukaddimah yang
mengandung Pancasila.

Jadi dengan tegas, Saudara-saudara, -- jelas! Empat kali di dalam
sepuluh tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah
me­nyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Allah s.
w. t. dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu
antara lain ialah setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena
itulah, Saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh
sesuatu golongan akan keterangan tentang Pancasila-memenuhi
permintaan itu.



Dan pada ini malam dengan mengucap suka-syukur ke hadirat Allah
s.w.t. aku berdiri di hadapan Saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka
dengan kaum buruh, dengan pegawai, rakyat jelata, dengan pihak
Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak Tentara, dengan pihak
Mobrig, pihak Polisi, pihak Perintis, dengan pemuda, dengan pemudi --
berdiri di hadapan Saudara-saudara dan anak--anak sekalian yang
telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air hujan-
aku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan insya Allah,
Saudara­saudara, aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab
Negara Republik didasarkan atas dasar Pancasila.

Saudara-saudara, ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara!.Ya,
jikalau diambil di dalam arti itu, memang Pancasila adalah
sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah sementara, bahkan
misalnya ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar kita -- bahwa Sang
Merah Putih, bendera kita -- itu pun sementara! Segala Undang-Undang
Dasar kita sekarang ini adalah sementara.

Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita
pakai sekarang ini, malahan disebutkan Undang-Undang Dasar Sementara
dari Negara Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Ya, oleh karena
akhimya nanti yang akan menentukan segala sesuatu ialah
Konstituante. Maka itu, Saudara-saudara, kita akan mengadakan
pemilihan umum dua kali. Pertama, pada tanggal 29 September nanti,
insya Allah S.W.T. untuk memilih DPR.

Kemudian pada tanggal 15 Desember untuk memilih Konstituante.

Konstituante adalah Badan Pembentuk Undang-Undang Dasar. Undang­-
Undang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi.
Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap
bagi Negara Republik Indonesia, yang sampai sekarang ini segala-
galanya masih sementara.

Tetapi, Saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku, "Apa yang berisi
kalbu Bapak ini akan permohonan kepada Allah s. w. t. ?" Terus
terang aku berkata, jikalau Saudara-saudara membelah dada Bung Karno
ini, Saudara-saudara bisa membaca di dalam dada Bung Karno memohon
kepada Allah s. w. t. supaya Negara Republik Indonesia tetap
berdasarkan Pancasila.

Ya benar, bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku
berkata, bahwa Sang Merah Putih adalah sementara -- bendera Republik
Indonesia -- pun sementara! Dan jikalau nanti Konstituante
bersidang, insya Allah s.w.t., Saudara-saudara-ku, siang dan malam
Bapak akan memohon kepada Allah s. w. t. agar supaya Konstituante
tetap menetapkan Bendera Sang Merah Putih sebagai bendera Negara
Republik Indonesia.

Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah
Putih ini. Jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai
bendera Republik Indonesia.

Tahukah Saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan
Republik Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan
nasional. Apa lagi bukan buatan Bung Karno, bukan buatan Bung Hatta!
Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini.
Bukan seribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan tiga ribu tahun,
bukan empat ribu tahun, bukan lima ribu tahun!-Enam ribu tahun kita
telah mengenal wama Merah Putih!

Tatkala di sini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam,
belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah meng-agungkan
war­na Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenal Tuhan
dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu yang kita
sembah adalah Matahari dan Bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira,
bahwa yang memberi hidup itu Matahari.

Siang Matahari -- malam Bulan. Matahari merah -- Bulan putih.

Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih.
Kemu­dian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami
akan hidup di dalam alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu di
dalam alam ini dan kita melihat, -- 0, alam ini ada yang hidup
bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-
makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak.
Manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya
putih. Getih - Getah.

Coba dengarkan hampir sama dua perkataan ini: Getih - Getah.

Cuma i diganti dengan a. Dulu kita mengagungkan Matahari dan Bulan
yang di dalam alam Hindu dinamakan Surya Candra. Kemudian kita
mengagungkan Getih - Getah. Merah - Putih. Saudara-saudara, itu
adalah fase kedua.

Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa
kejadian manusia ini adalah dari perhubungan laki dan perempuan,
perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki
adalah putih. Dan itulah sebabnya maka kita turun-temurun
mengagungkan Merah-Putih. Apa yang dinamakan "gula-kelapa",
mengagungkan bubur"bang-putih". Itulah sebabnya maka kita kemudian --
tatkala kita mempunyai negara-negara setelah mempunyaikerajaan-
kerajaan -- memakai warna Merah-Putih itu sebagai bendera negara.
Tatkala kita mempunyai kerajaan Singasari, Merah-Putih telah
berkibar, terus dirampas oleh imperialisme asing. Tetapi di dalam
dada kita tetap hidup kecintaan kepada Merah-Putih.

Dan tatkala kita mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908
dengan lahirnya Budi Utomo-dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP
(Nationaal Indische Partij), oleh ISDP, oleh PKI, oleh Sarekat
Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain-maka
rakyat lndonesia tetap mencintai Merah-Putih sebagai warna
benderanya. Dan tatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945
memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan resmi kita menyatakan Sang
Merah Putih adalah bendera kemerdekaan kIta.

Itu semua jika dikatakan sementara, ya sementara! Sebab Konstituante
belum bersidang. Konstituante mau merubah warna ini??? Lho, kalau
menurut haknya, boleh saja. Sebab Konstituante itu adalah kekuasaan
kita yang tertinggi. Penyusun, pembentuk Konstitusi. Jadi kalau
Konstituante, misalnya, hendak menentukan wama bendera negara
Republik lndonesia bukan Merah-Putih, ya mau dikatakan apa? Tetapi
Bapak berkata, Bapak memohon kepadaAllah s. w. t. agar supaya warna
merah-putih tetap menjadi wama bendera Negara Republik lndonesia.

Kembali kepada Pancasila. Jika dikatakan sementara, ya
semen­tara! Lagi-lagi Bapak ini berkata: Allah S.w.t. Dan Bapak
pun bersyu­kur ke hadirat Allah s.w.t., bahwa cita-cita Bapak
yang sudah bertahun-­tahun untuk naik Haji dikabulkan olehAllah
s. w.t. Lagi-Iagi Allah s.w. t

Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti -- ini hanya
Tuhan yang mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang --
jikalau ditanya oleh Malaikat: "Hai, Sukamo, tatkala engkau hidup di
dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan apa
yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi?
Pekerjaan apa yang engkau paling ucapkan syukur kepada Allah s. w.
t.?"

Moga-moga, Saudara-saudara, aku bisa menjawabnya bisa menjawab
demikian atau tidaknya itupun tergantung dari pada Allah s. w.
t.: "Tatkala aku hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara
Republik lndonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi
masyarakat lndonesia".

Sebagai sering kukatakan, Saudara-saudara, negara adalah wadah.

Jikalau diberi karunia oleh Allah s. w. t. mengerjakan pekerjaan
satu ini saja --Allahu'akbar! --aku akan berterima kasih setinggi
langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah.
Wadahnya -- ­wadahnya saja -- yang bemama Negara ini. Di dalam
wadah ini adalah masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah
wadah untuk masyarakat.

Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah bisa dijalankan di dalam satu hari sebenamya -
- wadah yang bernama Negara itu.

Tidakkah Saudara-saudara dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar,
bahwa oleh suatu konferensi kecil sekonyong-konyong diputuskan
dibentuk negara ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahu­lu
sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah negara
Ceko­slovakia sekadar dengan coretan pena dari suatu konferensi
kecil. Membentuk negara, gampang! Dulu di sini juga pernah dibentuk
Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van
Mook, Saudara-saudara! Tetapi coba membentuk masyarakat, susah!

Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-
tahun, berpuluh-puluh tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-
abad. Masyarakat apa pun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta
pekerjaan kita terus-menerus. Baik masyarakat Islam, maupun
masyarakat Kristen, maupun masyarakat sosialis. Bukan bisa dibentuk
dengan satu dekrit, Saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan
satu unjal napas manusia. Membentuk masyarakat makan waktu! Ya, aku
bermohon kepada Tuhan, dibolehkanlah hendaknya ikut membentuk
masyarakat pula.

Masyarakat di dalam wadah itu. Tetapi aku telah bersyukur seribu
syukur kepada Tuhan, jikalau aku nanti bisa menjawab kepada Malaikat
itu, bahwa hidupku di dunia ini ialah antara lain-lain telah ikut
membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan
wadah ini buat satu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih
dari satu juta manusia, Saudara-saudara, wadah itu bukan kok cuma
buat satu juta manusia ini saja. Tidak! Wadah yang bernama negara,
negara yang bernama Republik Indonesia itu adalah wadah untuk
masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari Sabang sampai ke Merauke!
Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka agama, beraneka adat-
istiadat, beraneka suku. Bertahun--tahun aku ikut memikirkan ini.
Nanti jikalau Allah s.w.t. memberikan kemerdekaan kepada kita --
dulu Bapak berpikiran yang demikian-lah -- jikalau Nega­ra
Republik Indonesia telah bisa berdiri, negara ini agar supaya
selamat, agar bisa menjadi wadah bagi segenap rakyat Indonesia yang
80 juta,
Negara harus didasarkan apa?

Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini.
Tatkala aku aktif di dalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi
memi­kirkan hal ini. Tatkala di dalam zaman Jepang, tetapi oleh
karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang
sendiri, korbanan kita sendiri -- tatkala fajar telah menyingsing --
lebih-lebih lagi kupikirkan hal ini. Wadah ini hendaknya jangan
retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-kuatnya. Wadah untuk segenap
rakyat lndo­nesia, dari Sabang sampai ke Merauke yang beraneka
agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.

Sekarang aku menjadi Presiden Republik lndonesia adalah karunia
Tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku dulu bertahun-tahun memikirkan
hal ini. Dan aku tidak menyesal. bahwa aku telah mem­formulir
Pancasila. Apa sebab? Barangkali lebih dari siapa pun di lndonesia
ini, aku mengetahui akan keanekaan bangsa lndonesia ini. Sebagai
Presiden Republik lndonesia aku berkesempatan sering-sering untuk
melawat ke daerah-daerah.

Sering-sering aku naik kapal udara. Malahan jikalau di dalam kapal
udara aku sering-sering --katakanlah -- main gila dengan pilot.
Pilot terbang tinggi, aku tanya kepadanya: Saudara pilot, berapa
tinggi? "12.000 kaki, Paduka Yang Mulia." - Kurang tinggi, naikkan

lagi!

"13.000 kaki." - Hahaa, kurang tinggi, Bung! "14.000 kaki." - Kurang
tinggi!

"15.000 kaki." - Kurang tinggi!

"16.000 kaki." - Kurang tinggi!

"17.000 kaki. " - Kurang tinggi!

"Sudah tidak bisa lagi, Paduka Yang Mulia. Kapal udara kita sudah
mencapai plafon".

Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara
itu. Aku terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari
utara ke selatan, dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita.
Allahuakbar, cantiknya bukan main! Dan bukan saja cantik, sehingga
benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli di dalam kitab Max
Havelaar, bahwa lndonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia
sebutkan, "Insulinde de zich daar slingert om den evenaar als een
gordel van smaragd -- Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat
daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa!" lndahnya
demikian.

Ya memang, Saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki di
angkasa dan melihat ke bawah. kelihatan betul-betul lndonesia ini
adalah sebagai ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit
mengelilingi khatulistiwa. Berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu--
ribu pulau Saudara lihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna-warna.
Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai
tanah air kita ini, Saudara-saudara. Lebih dari 3000 pulau. Bahkan
kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau-pulau.

Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh
menyambut kedatangan Presiden -- rakyat beragama Islam. Terbang lagi
kapal udaraku, turun di Siborong-borong, daerah Batak. Rakyat Batak
menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Presiden Republik
Indonesia -- agamanya Kristen.

Terbang lagi, Saudara-saudara, ke dekat Sibolga -- agama Kristen.

Terbang lagi ke selatan, ke Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan --
­agama Islam. Demikianlah pula di Jawa. Kebanyakan ber-agama
Islam, di sana Kristen, sini Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke
Banjarmasin -- kebanyakan Islam. Tetapi di Banjar-masin itu aku
berjumpa utusan-utusan dari suku Dayak, Saudara-saudara. Malahan di
Samarinda aku berjumpa dengan utusan--utusan, bahkan rakyat

Dayak yang 9 hari 9 malam turun dari gunung-gunung untuk
menjum­pai Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama
Islam, tetapi beragama agamanya sendiri.

Aku ber-ibu orang Bali. Ida Ayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahan aku
jikalau beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat
Bali menyebutkan aku -- kecuali Bung Karno, Pak Karno -- menyebutkan
Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta
manusia itu beragama Hindu-Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam
sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam sedikit. Terbang lagi
kapal udaraku ke Sumbawa -- Islam. Terbang kapal udaraku ke Sumbawa -
- Kristen Protestan. Terbang kapal udaraku ke Flores, pulau di mana
aku dulu diinternir -- rakyat Flores kenal akan Bung Karno, Bung
Karno kenal akan rakyat Flores -- sebagian besar rakyat Flores itu
beragama Rooms Katholik (Kristen). Terbang lagi kapal udaraku ke
Timor -- sebagian besar rakyatnya Protestan Kristen. Terbang lagi
kapal udaraku ke Ambon -- Kristen. Sekitar Ambon itu adalah
masyarakat Kristen. Terbang lagi ke utara, ke Ternate -- Islam di
Ternate. Dari Ternate terbang ke Manado, Minahasa sekeliling-nya --
Kristen.
Ke selatan, Makasar -- Islam. Di tengah Sulawesi, Toraja --
sebagian besar Kristen, sebagian belum ber-agama. (BERSAMBUNG)

(Arsip - K.Prawira: BUNG KARNO "APA SEBAB NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERDASARKAN PANCASILA?", PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bineka Tunggal
Ika, 2005, hal.47-57)

No comments: